Surat Perintah Mukjizat
SURAT PERINTAH MUKJIZAT DAN ADANYA OKNUM YANG “TlDAK BENAR”
SEPULUH tahun lamanya Amerika mengupayakan penggulingan Sukarno. Hitung saja sejak suksesnya Konperensi Asia-Afrika April 1955 di Bandung, yang berhasil rnenjadikan Bung Karno pemimpin dunia, setidaktidaknya dunia Asia-Afrika, hal yang mengkhawatirkan Amerika.
Kerja keras Amerika ini akhirnya menjadi sempurna setelah ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution menandatangani Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS11967, yang mencabut semua kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden Sukarno, bahkan melarangnya melakukan kegiatan politik untuk akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan. Bung Karno dituduh terlibat G30S/PKI.
Penyelesaian hukum menurut ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana tercantum dalam pasal 6 dari Ketetapan MPRS XXXIII, tidak diindahkan lagi, karena kalau prosedur hukum ini ditempuh, dikhawatirkan akan mencairkan kembali sasaran pokok Ketetapan tersebut, yaitu membenarkan pencabutan semua kekuasaan pemerintahan negara dan larangan melakukan kegiatan politik terhadap diri Bung Karno.
Belakangan timbul pendapat yang meragukan mengenai prosedur yang ditempuh oleh MPRS menggulingkan Sukarno dengan alasan terlibat Gerakan 30 September 1965, karena alasan-alasan yang dikemukakan tidak didukung oleh pembuktian yang sah di muka sidang pengadilan.
Sebagai contoh, keberadaan Presiden Sukarno di Kompleks Halim Perdana Kusumah misalnya, daerah yang dinyatakan sebagai sarang G30S/PKI, dianggap sebagai salah satu bukti keterlibatannya.
Tentang tuduhan ini, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang membawa Bung Karno ke Halim, memberikan kesaksiannya bahwa tindakan itu diambil sesuai dengan ketentuan “Operating Standing Procedure” (OSP) Tjakrabirawa, yaitu dalam keadaan darurat, Presiden harus diselamatkan melalui cara yang paling mungkin. Dalam kasus ini setelah dipertimbangkan dengan seksama, diputuskan Presiden dibawa ke Halim, karena di sana selalu standby pesawat terbang Kepresidenan “Jet Star” yang setiap saat dapat menerbangkan Presiden ke tempat lain yang lebih aman.
Tuduhan lain di samping keterangan Brigjen Sugandhi, mantan Ajudan Presiden, seperti yang sudah diuraikan di Bab I, juga ada keterangan dalam 14 Berita Acara Pemeriksaan (BAP) setebal 90 halaman, hasil interrogasi Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU) atas diri mantan Ajudan Presiden Sukarno yang lain, letnan kolonel (KKO) Bambang Setyono Widjanarko yang menerangkan bahwa Presiden Sukarno pada malam 30 September menerima surat dari letnan kolonel Untung Samsuri, komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September, di tengah- tengah penyelenggaraan acara penutupan Musyawarah Besar Teknik yang dihadiri oleh Presiden di ISTORA Senayan.
Keterangan Widjanarko ini dibantah keras oleh Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang malam itu bertanggungjawab atas pengawalan dan keselamatan Presiden, yang memastikan bahwa sama sekali tidak ada adegan seperti yang dikatakan oleh Widjanarko. Maulwi Saelan selama acara berlangsung di ISTORA Senayan, selalu berada di dekat Presiden.
Di kemudian hari, keterangar-keterangan yang dinyatakan sebagai bukti keterlibatan Bung Karno dalam Gerakan 30 September, dinilai oleh Jaksa Agung Singgih, SH., bersifat audita, artinya sekedar didengar atau diketahui dari orang lain, tanpa dikonfimmasikan atau dikuatkan oleh alat bukti lain, sehingga pembuktiannya mengambang. 61)
61) Manai Sophiaan, Apa yang masih teringat, hal 454
Bisa dimengerti bahwa penilaian Bung Kamo dalam Pelengkap Nawaksara tentang “adanya oknum-oknum yang tidak benar” bisa saja dirasakan oleh Jenderal A.H. Nasution sebagai sindiran atas dirinya, mengingat adanya desas-desus negatif mengenai sikapnya. Hubungan Bung Karno dengan Nasution waktu itu memang kurang baik, sehingga dalam menentukan sikap, emosi masing-masing dimungkinkan sekali ikut berperan.
Ini terbukti setelah keadaan menjadi lebih tenang, 25 tahun kemudian Nasution memberikan keterangan sambil mengutip pengakuan ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang Widjanarko, yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno telah memerintahkan supaya Jenderal A. Yani datang menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965, memberi petunjuk bahwa Presiden Sukarno tidak mengetahui sebelumnya akan terjadi Gerakan 30 September, dan dengan demikian tidak mengetahui juga akan terjadinya pembunuhan atas 6 Jenderal di Lubang Buaya .62)
62) Ibid, hal. 455.
Bahkan Presiden Sukarno mempertanyakan dalam Pelengkap Nawaksara, mengapa dia saja yang diminta pertanggungjawaban atas peristiwa G30S/PKI dan justru bukan Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan yang waktu itu dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution?
Lalu Presiden Sukarno bertanya:
“Siapa yang bertanggungjawab atas usaha hendak membunuhnya dalam peristiwa Idul Adha di halaman Istana Jakarta?”
“Siapakah yang bertanggungjawab atas pemberondongan dari pesawat udara atas dirinya (di Istana Jakarta) oleh Maukar?”
“Siapakah yang bertanggungjawab atas pericegatan bersenjata atas dirinya di dekat gedung Stanvac (Jakarta) ?”
“Siapakah yang bertanggungjawab atas pencegatan bersenjata atas dirinya di Selatan Cisalak (antara Jakarta-Bogor) ?”
Presiden Sukarno menyebut 7 peristiwa usaha hendak membunuhnya dan siapa yang harus dimintai tanggungjawab atas semua kejadian itu? Tapi masih ada bukti lain mengenai “adanya oknumoknum yang tidak benar”.
Geofrey Robinson yang sudah banyak dikutip dalam Bab terdahulu, mengutip sebuah telegram dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, 21 Januari 1965, kepada Department of State (DOS) di Washington, di mana dilaporkan pertemuan yang baru saja diadakan antara seorang pejabat Kedutaan Besar dengan Jenderal S. Parman, yang mengungkapkan kuatnya “perasaan dalam Angkatan Darat” terhadap pengambilan alih kekuasaan sebelum meninggalnya Sukarno.
Angkatan Darat, menurut telegram itu, sangat prihatin terhadap gerakan PKI untuk membangun Angkatan ke-V, karena itu merasa perlu mengambil tindakan langsung untuk “mengimbangi gerakan PKI”. Angkatan Darat menyadari bahwa bagaimana pun, tidak ada kup terhadap Sukarno yang akan berhasil. Oleh karena itu dianjurkan supaya kup dilakukan demikian rupa, seakan-akan menjaga kepemimpinan Sukarno tetap utuh.63)
63) Geofrey Robinson mengutip Departmenr of Defence, telegram dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, 21 Januari 1965 (dari Jones File).
Seperti diuraikan dalam Bab Vl, Gabriel Kolko yang menulis tentang Indonesia dengan mengutip dokumendokumen Kementerian Luar Negeri AS dan CIA yang tidak dirahasiakan lagi mengenai debat tentang peran Amerika Serikat di Indonesia 1965, mengatakan tentang adanya telegram dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Howard Jones 22 Januari 1965. Dengan menghilangkan nama orangnya dalam telegram, orang itu menerangkan kepada saya (Duta Besar) berita yang sangat rahasia, bahwa tentara mengembangkan rencana spesifik untuk megambil alih kekuasaan pada saat Sukarno akan turun tahta. Orang itu baru datang dari
pertemuan dengan Jenderal Parman yang mendiskusikan rencana itu dengannya. Ia berkata, sekali pun telah ada rencana rencana tentang contingency (kemungkinan) basis dengan perhatian kepada post Sukarno era, terdapat satu sentimen kuat di antara segment top military command untuk mengambil kekuasaan sebelum Sukarno turun.
Dapat dipercaya, bagaimana pun dirahasiakannya, Presiden Sukarno menerima laporan mengenai kegiatankegiatan ini melalui jalur khusus, sehingga cukup alasan baginya untuk mengatakan bahwa salah satu sebab terjadinya Gerakan 30 September, karena “adanya oknum- oknum yang tidak benar”.
Pada tahun 1957 sewaktu seorang wartawan Belanda Willem Oltmans, beraudiensi ke Istana (dikatakannya sudah diulas dalam 2 bukunya, pen.), ia mengatakan kepada Bung Karno supaya tidak sepenuhnya mempercayai Dr. Subandrio, tapi Bung Karno meneruskan saja percaya kepadanya. William Oltmans mengatakan bahwa Subandrio lah yang membakar-bakar Bung Karno mengenai konfrontasi terhadap Malaysia.
William Oltmans menceritakan juga bahwa di dalam Tentara ada Jenderal-Jenderal yang menyuruh orang-orang seperti Oejeng Soewargana pergi ke Den Haag dan Washington untuk meyakinkan orang-orang Belanda dan Washington supaya menaruhkan kartunya pada Tentara, karena Jenderal A.H. Nasution siap menjadi Presiden dan Bung Karno akan diturunkan. Dikatakan, gerakan internasional dari Panjaitan dan Parman, telah dimulai sejak 1961.
“Permainan ini berjalan terus dan Jenderal Parman pernah menjumpai saya di New York. Kolonel Sutikno yang mengatur pertemuan itu. Ia menghubungi saya dan seorang bekas agen CIA bernama Werner Verrips. Ternyata maksudnya, kami berdua harus dilenyapkan. Saya tetap hidup dan Verrips terbunuh”. 64)
64) Resensi Willem Oltmans atas buku “Otobiografi Soeharto”, edisi bahasa Belanda. Amsterdam 24 Maret 1991.
Demikian tulis Willem Oltmans, yang Mei 1994 kembali berkunjung ke Indonesia dalam rombongan Perdana Menteri Belanda, Lubbers.
Mengapa Willem Oltmans dan Warner Verrips harus dilenyapkan? Karena keduanya
sudah mengetahui adanya kegiatan mencari dukungan dari Belanda dan Washington
atas rencana hendak menggulingkan Sukarno, rencana yang mereka tidak setujui
dan dikhawatirkan akan melaporkannya kepada Sukarno.
Mudah untuk dimengerti bahwa rencana ini akhirnya disampaikan oleh Willem Oltmans kepada Bung Karno. Dengan demikian, Bung Karno tidak asal menuduh
begitu saja tanpa alasan yang kuat tentang “adanya oknumoknum yang tidak benar”.
Ada pun tentang Dr. Subandrio, ketika ia sebagai Menteri Luar Negeri menyelesaikan sengketa Irian Barat dengan Belanda lewat Dewan Keamanan PBB dengan bantuan wakil Amerika di PBB, E. Buncker, pada 16 Agustus 1962, sehingga Indonesia tidak perlu lagi membebaskan Irian Barat dengan kekuatan militer, secara serius ia berbicara dengan seseorang yang dipercayainya, bahwa dengan prestasinya itu, pantaslah membuat dirinya diangkat menjadi Wakil Presiden, yang waktu itu memang lowong.
Analisa CIA juga mengatakan bahwa jika Sukarno tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, maka Dr. Subandriolah yang berambisi menggantikannya.
Tapi Gerakan 30 September 1965 yang gagal, menyebabkan harapan Dr. Subandrio manjadi buyar.
Dokumen Amerika mengungkapkan bahwa sebelum keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menyebabkan banyak Menteri dari Kabinet 103 Menteri yang ditahan, ABRI sudah merencanakan hendak menangkap Dr. Subandrio, karena menganggap dia termasuk biang keladi peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sebuah telegram dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta tanggal 26 Pebruari (1966) ditujukan kepada Menteri Luar Negeri di Washington menyatakan sebagai berikut:
1. Minta perhatian Departemen Luar Negeri dan Duta Besar Green untuk …. (tidak dikutip, pen.) sedang kita sudah tentu tidak dalam kedudukan untuk mengatakan apakah kegiatan kita sebenarnya harus di ambil terhadap Subandrio. Sumber laporan ini dapat dipercaya dan saya anggap harus diperhatikan dengan sungguh- sungguh.
2. Sudah ada laporan terdahulu, paling sedikit tanggal 10 Nopember yang lalu (1965) bahwa Tentara akan “mengambil” Subandrio. Ini ternyata palsu. Akan tetapi Tentara sekarang merasa lebih putus asa. Kelompok berhaluan keras memperbesar tekanan mereka untuk sesuatu bentuk tindakan dan Tentara mempunyai risiko untuk mendapat nama buruk, kalau gagal melakukan tindakan lanjut dengan kesempatan baik yang sudah diciptakan mahasiwa. Tambahan pula laporan menunjukkan bahwa pimpinan tertinggi Tentara jauh lebih bersatu dari pada sebelumnya dalam keputusan untuk menyingkirkan Subandrio. Ia menempel bagai lem pada Istana. Akan tetapi Tentara pasti mempunyai kekuatan untuk mendapatkan dengan salah satu cara, kalau memang mempunyai kemauan untuk melakukannya.
3. Penyingkiran Subandrio tidak akan seluruhnya mengubah kecenderungan sekarang di Indonesia. Tentara masih harus menghadapi Sukarno dan tujuannya tidak akan berubah. Akan tetapi, tanpa Subandrio sebagai wakilnya, Sukarno akan mempunyai jauh lebih banyak kesulitan untuk memaksakan rencananya (CONEFO, Poros Peking, kebangkitan neo-PKI). Lagi pula fakta tentara bertindak terhadap anteknya, akan mempunyai pengaruh yang menenangkan kepadanya dan dia mungkin akan lebih mudah dikendalikan. Bahkan kalau ia akan mencoba menyerang tentara sebagai pembalasan, kenyataan bahwa tentara sudah melakukan langkah pertama, akan memudahkan langkah kedua terhadap Sukarno sendiri.
4. Kami tidak tahu sifat atau penentuan waktu untuk bergerak, akan tetapi menurut perkiraan pendahuluan kami, Tentara mempunyai kemampuan untuk melakukannya tanpa menimbulkan perang saudara atau kerusuhan lokal yang serius. Gerakan cepat dan efektif terhadap Subandrio, mungkin tidak akan berulang, tidak akan ditentang oleh unit-unit militer yang lain, teristimewa kalau Sukarno tidak cedera. Akan tetapi selalu ada kemungkinan perkembangan yang tidak diduga atau ceroboh. Oleh karena itu kami mengulangi peringatan kepada orang-orang Amerika untuk sedapat mungkin berdiam diri dan kami akan mengambil tindakan selanjutnya untuk memperketat keamanan perwakilan. Kami merasa tidak perlu mengulang, tidak perlu ada tindakan lebih lanjut pada waktu ini.
CP-1
Lydman
BT
Catatan:
Advance copy ke S/S-o pukul 1:27 pagi, 26/2/66 melewati Gedung Putih pukul 1:37 pagi, 2612166. Gedung Putih menasehatkan staf Kedutaan Besar Amerika ” untuk berdiam diri” kalau Tentara Indonesia “mengambil” Subandrio, 65)
65) The Declassified Documents Respective Collection, 1977, # 129 D, 26 Pebruari 1966. Disunting oleh William L Bradley dan Mochtar Lubis dalam “Dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika Serikat di Asia”, hal. 177-179.
Pada tanggal 4 Maret 1966, Pak Harto minta izin kepada Presiden Sukarno hendak
menangkap sejumlah Menteri yang dianggap terlibat G30S/PKI, tapi Presiden
menolaknya. Menurut Jenderal Soemitro dalam bukunya (disunting oleh Ramadhan
K.H.) “Soemitro, Dari PANGDAM Mulawarman Sampai PANGKOPKAMTIB” (terbit
April 1994), Sebelum 11 Maret 1966, ada rapat staf SUAD yang dipimpin oleh Pak
Harto. Rapat itu mendengarkan briefing dari Pak Harto, dan sampai pada keputusan
hendak memisahkan Bung Karno dari apa yang disebut ” Durno- durno”-nya.
Diputuskan, sejumlah Menteri akan ditangkap, yang harus dilakukan oleh RPKAD
pada saat ada sidang Kabinet di Istana Merdeka, 11 Maret 1966.
Yang ditugaskan membuat Surat Penangkapan, Jenderal Soemitro selaku Asisten
Operasi MEN/PANGAD, kemudian meneruskan kepada KOSTRAD dan RPKAD
untuk pelaksanaannya.
Namun sebelum penangkapan dilaksanakan, tiba-tiba datang perintah lagi dari Pak
Harto kepada Jenderal Soemitro melalui Asisten Vll, Alamsyah, supaya Surat
Perintah Penangkapan dicabut kembali. Jenderal Soemitro menyatakan, pencabutan
tidak mungkin dilaksanakan, karena pasukan sudah bergerak.
Sebelum itu, Panglima KOSTRAD Umar Wirahadikusumah sudah memerintahkan
Kepala Stafnya, Kemal Idris, supaya membatalkan perintah menangkap Subandrio,
tapi ditolaknya, dengan alasan perintah sudah jalan dan Istana sudah dikepung sehari sebelum sidang Kabinet.
Meski pun demikian penangkapan Subandrio tidak berhasil dilaksanakan hari itu.
Sesudah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966, Subandrio baru
ditangkap di Wisma Negara dalam komplek Istana Jakarta, yang dilakukan setelah
Presiden Sukarno lebih dulu disingkirkan oleh “Tjakrabirawa”, dibawa ke Istana
Bogor. Tjakrabirawa menolak penangkapan Subandrio dilakukan, selagi Presiden
berada di Istana Jakarta. Ternyata Presiden Sukarno sendiri tidak berusaha
menyelamatkan Subandrio dari penangkapan.
Tentang usaha hendak menangkap Subandrio, dikemudian hari diceritakan oleh
Letnan Jederal (purn.) Achmad Kemal Idris kepada mingguan “Tempo” (20 Oktober
1990) bahwa sehari sebelum sidang Kabinet 103 Menteri di Istana Merdeka, ia dalam
statusnya sebagai Kepala Staf KOSTRAD, menempatkan pasukan RPKAD tanpa
inisial mengelilingi Istana, dengan tugas untuk menangkap Subandrio yang dianggap
salah satu tokoh G30S. Dikatakannya bahwa Pak Harto-lah yang memerintahkan
penangkapan itu, bagaimana caranya, terserah.
Tapi ketika sidang Kabinet sedang berjalan (11 Maret 1966) Ajudan Senior Presiden,
Brigadir Jenderal Moh. Sabur, melapor kepada Presiden bahwa ada pasukan yang
tidak dikenal me- ngelilingi Istana dan ada kekhawatiran pasukan ini akan menyerbu.
Oleh karena itu Presiden Sukarno segera diamankan ke Istana Bogor dengan
Helicopter yang tersedia di halaman depan Istana. Subandrio yang menjadi sasaran
hendak ditangkap, ikut dengan Bung Karno ke Bogor. Hari itu usaha menangkap
Subandrio, gagal.
Pada tahun 1993, Kemal Idris menceritakan lagi kepada wartawan “Forum Keadilan” 66) bahwa Amirmachmud sebagai Panglima KODAM V/Jaya mengetahui dialah yang menempatkan pasukan tanpa tanda-tanda pengenal di sekeliling Istana. Tapi kata Kemal Idris, dia memang yang bertanggungjawab mengenai penggerakan pasukan, sedang Amirmachmud sebagai Panglima KODAM, hanya melaksanakan tugas teritorialnya.
66) “Forum Keadilan”, 22 Juni 1993
Waktu berkumpul di KOSTRAD, Kemal Idris dapat perintah supaya menarik pasukan itu. Yang memerintahkan penarikan pasukan, ialah Letnen Jenderal Maraden Panggabean (Pejabat Panglima Angkatan Darat) melalui Amirmachmud, Panglima KODAM V/jaya. Kemal Idris tidak mau melaksanakannya. ” Kalau pasukan saya tarik, apa SUPERSEMAR akan jadi?”, kata Kemal Idris.
Menurut Kemal Idris, karena pasukan tetap berada di sekitar Istana, maka Bung Karno kabur ke Bogor. Setelah Bung Karno pergi, Pak Harto menulis surat kepada Bung Karno yang dibawa oleh 3 Jenderal (Basuki Rachmat, M. Yusuf dan Amir Machmud), isinya kira-kira menyatakan tidak bisa bertanggungjawab mengenai keamanan, kalau tidak diberikan lebih banyak kekuasaan untuk menumpas G30S/PKI dan mempertanggung-jawabkan keamanan.
Ketika ditanya, setelah keamanan pulih, haruskah kewenangan itu dikembalikan kepada Bung Karno?, Kemal Idris menjawab: “Iya, cuma sampai di situ saja, tidak berarti dia (Soeharto) mengambil alih kekuasaan. Jadi, setelah keamanan bisa dipulihkan, kekuasaan itu harus dikembalikan kepada Bung Karno. Tapi MPRS menghendaki lain”.
Sebelum sidang Kabinet dimulai, Presiden Sukarno bertanya kepada Amir Machmud, apakah situasi keamanan memungkinkan Sidang Kabinet diadakan?, yang dijawab “bisa”, sambil memberikan jaminan: AMAN!
Itulah sebabnya ketika 3 Jenderal yang diutus oleh Pak Harto menemui Bung Karno di Bogor, sekali lagi Bung Karno bertanya kepada Amir Machmud, bagaimana situasi sebenarnya, yang dijawab oleh Amir Machmud bahwa keadaan AMAN. Waktu itu ia dibentak oleh Bung Karno sambil mengatakan: “Kau bilang aman, aman, tapi demonstrasi jalan terus”.67)
67) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 56.
Kedatangan 3 Jenderal ke Bogor yang menurut Kemal Idris membawa surat Pak Harto menyebabkan lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Tapi mantan Asisten Operasi MEN/ PANGAD Jenderal Soemitro mengatakan, bukan 3 Jenderal yang menyebabkan SUPERSEMAR keluar, melainkan karena RPKAD mengepung Istana.
Ketika membaca teks SUPERSEMAR dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta untuk
disampaikan kepada Pak Harto, Amir Machmud mengatakan: “Koq ini penyerahan
kekuasaan”.68)
68) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 59.
Oleh karena itu dikatakannya, Surat Perintah tersebut adalah MUKJIZAT dari Allah
SWT kepada rakyat dan bangsa Indonesia. 69)
69) Ibid, hal. 59. Istilah MUKJIZAT yang digunakan oleh Amir Machmud di sini, adalah istilah agama yang berarti: Kejadian yang menyimpang dari hukum-hukum alam (menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang diolah oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). Mukjizat hanya diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi dan Rasul.
Akhirnya setelah pemegang SUPERSEMAR melaksanakan perintah itu, pertama-tama dilakukannya membubarkan PKI, disusul dengan penahanan 15 Menteri. Tindakan ini sangat mengejutkan Bung Karno, karena tidak dikonsultasikan dulu dengan Prèsiden/Panglima Tertinggi ABRI, seperti yang dimaksud dalam Surat
Perintah tersebut. Langkah pun dipercepat dengan memanggil Sidang Umum IV
MPRS 25 Juli 1966, lalu membubarkan Kabinet Dwikora yang menteri- menterinya
sudah ditangkap lebih dulu 15 orang, sesudah mana Jenderal Soeharto lalu
membentuk Kabinet AMPERA dengan ia sendiri sebagai ketua Presidium Kabinet itu.
Klimaksnya, diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 s/d 12 Maret
1967, yang mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, karena
Presiden Sukarno sudah divonis oleh Sidang Istimewa MPRS dengan Ketetapan
No.XXXIII/1967 yang mencabut semua kekuasaannya dari Pemerintahan Negara.
Semua itu kata Amirmachmud, berhulu dari SUPERSEMAR.70)
70) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 61.
Sejak SUPERSEMAR diluncurkan, sebenarnya Bung Karno tidak mampu lagi mengantisipasi situasi secara tepat.
Berikut ini kutipan penilaian Bung Karno yang meleset mengenai perkembangan situasi yang diucapkannya dalam Amanat Proklamasi 7 Agustus 1966. Bung Karno berkata:
” …….Tahun 1966 ini, – kata mereka -, ha, eindelijk, eindelijk at long last, Presiden Sukarno telah dijambret oleh rakyatnya sendiri; Presiden Sukarno telah dikup; Presiden Sukarno telah dipreteli segala kekuasannya; Presiden Sukarno telah ditelikung oleh satu “triumvirat” yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku Buwono dan Adam Malik. Dan ” Perintah 11 Maret” kata mereka: “Bukankah itu penyerahan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto?”
Dan tidakkah pada waktu sidang MPRS yang lalu, mereka – reaksi musuh-musuh kita – mengharapkan, bahkan menghasut-hasut, bahkan menujumkan, bahwa sidang MPRS itu sedikitnya akan menjinakkan Sukarno, atau akan mencukur Sukarno sampai gundul sama sekali, atau akan mengdongkel Presiden Sukarno dari kedudukannya semula?
Kata mereka dalam bahasa mereka, “The MPRS session will be the final setlement with Sukarno”, artinya sidang MPRS ini akan menjadi perhitungan terakhir – laatste afrekening – terhadap Sukarno. Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan. Dikiranya Surat Perintah 11 Maret itu satu “transfer of authority”. Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah satu perintah pengamanan …….bukan penyerahan pemerintahan. Bukan transfer of authority.
Mereka, musuh, sekarang kecele sama sekali, dan sekarang pun, pada hari Proklamasi sekarang ini, mereka kecele lagi: Lho, Sukarno masih Presiden, masih Pemimpin Besar Revolusi, masih Mandataris MPRS, masih Perdana Menteri: Lho, Sukarno masih berdiri lagi di mimbar ini!â€71)
71) Presiden Sukarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1966, Inti Idayu Press bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Soekarno, hal. 199-200.
Demikian Cuplikan pidato Bung Karno yang mengevaluasi situasi waktu itu, penilaian mana meleset sama sekali. Yang benar justru penilaian musuh, yang diejek oleh Bung Karno.
Urut-urutan kejadian yang mengikuti Surat Perintah 11 Maret, sama sekali tidak membuktikan kecelenya musuh, seperti yang digambarkan oleh Bung Karno.
Baru belakangan, 10 Januari 1967, Bung Karno memberikan penilaian yang benar mengenai sebab musabab terjadinya Gerakan 30 September 1965, antara lain karena ada oknum- oknum yang tidak benar dalam tubuh kita sendiri.
Salam Revolusi