Riwayat | Fatmawati (ada yang berkata nama aslina Fatimah. Red.) lahir pada tanggal 5 Pebruari 1923, dari suami-isteri Hassan Din dan Siti Chatidjah. Tidak memiliki rumah sendiri (dan selalu menyewa atau, menumpang), Hassan Din bukan orang berada. Kemelaratan ini lebih-lebih lagi melanda ketika Hassan Din harus keluar dari Borsumi dan aktif dalam gerakan Muhammadiyah di Bengkulu.
Pernah, ketika masih duduk di kelas II HIS Muhammadiyah, Fatmawati berjualan ketoprak seusai sekolah. "Inilah jalan yang aku tempuh untuk meringankan beban orangtuaku," tulisnya. Usia 12 tahun, sudah bisa dilepas di warung beras ayahnya.
Ketika usianya 15 tahun, Fatmawati bertemu dengan Sukarno. Bahkan seluruh keluarga -- ayah, ibu, Fatma dan adik ayahnya -- naik delman mengunjungi rumah Sukarno di Curup. "Masih kuingat, aku mengenakan baju kurung warna merah hati dan tutup kepala voile kuning dibordir." Pendapat Fatmawati tentang Inggit, yang waktu itu jadi isteri Bung Karno: "Inggit mempunyai pembawaan halus, pandai tersenyum dan gemar makan sirih. Berpakaian rapi, tak banyak reka-reka menurut model sebelum generasiku, memakai gelur bono Priangan. Pada penglihatanku, Ibu Inggit seorang yang tidak spontan, gerak-geriknya hati-hati. Bercakap pun demikian. Matanya kelihatan seakan-akan suka marah dan kesal. Jika orang tak kuat batin, rasanya susah berdekatan dengan beliau
Saat yang paling penting dalam kehidupannya, di saat-saat menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, demikian Fatmawati. Ibu Negara ini yang menggunting dan menjahit bendera pusaka yang kini disimpan. Di masa-masa pergolakan ada beberapa catatan penting tentang soal yang bisa saja dianggap remeh-remeh. Misalnya: Kunjungan beliau yang pertama ke luar negeri adalah ke India. Beliau ketika itu memakai perhiasan pinjaman dari isteri Sekretaris Negara, seorang keturunan bangsawan kraton yang kebetulan punya persediaan.
Tentang Yogya - dan Fatma berdiam di gedung yang kini namanya Gedung Negara -- ia menulis: "Satu kali kami menjamu Merle Cochran dengan perabot dan pecah-belah pinjaman dari kiri-kanan dengan protokol `perjuangan`nya." Artinya: protokol yang juga sibuk pinjam taplak meja di rumah lain kalau kebetulan ada tamu negara. Juga protokol yang, tanpa bisa dilihat oleh tamu negara, bersembunyi dan memberi tahukan kepada Bung Karno, kapan dia harus angkat gelas. Istana waktu itu memang bukan Istana yang sekarang. Fatmawati meninggal pada tahun 1980 dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta. Ia adalah istri ke-3 dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dari pernikahananya dengan Soekarno ia dikaruniai 5 orang anak.
Nama | Hartini Soekarno | Hubungan | Istri | Riwayat | Hartini Soekarno, Lahir di Ponorogo Jawa imur pada tanggal 20 September 1924 beragama Islam. Hartini menempuh pendidikan awal di HIS ( Holland Indlands School ) dan terakhir Kelas dua SMA yaitu pada tahun 1942. Wanita Karir di bidang Wiraswasta ini beralamat di Jalan Proklamasi No. 62 di Jakarta Pusat.
Enam belas tahun dalam suka maupun duka, Hartini setia mendampingi suaminya hingga wafat. Resmi menjadi istri Soekarno, setahun setelah pertemuannya yang pertama di Prambanan, Yogyakarta tahun 1952. Ketika itu ia sudah menjadi janda berusia 28 tahun. Dengan suaminya yang pertama, Suwondo, ia dikaruniai lima anak. Menikah dengan Soekarno, ia mendapat dua anak. Biasa dipanggil Tien, ia anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya, Osan, pegawai kehutanan, mendidiknya secara tradisional. Tidak mengherankan bila Tien berpendidikan formal hanya hingga kelas dua SMA. Pendapatnya tentang istri cukup sederhana. Selain sebagai istri, kita juga adalah ibu, kawan, dan kekasih bagi suami. Sebagai ibu, menurut Tien, bila suami sakit harus dilayani dengan cermat. Meminumkan obat, memijati, dan mengelusnya hingga terlena. Sebagai kawan, di mana dan kapan pun, patut mengimbangi pembicaraannya. Ia banyak membaca dan rajin mengumpulkan informasi, agar mampu menjadi kawan bicara yang baik dan bijak. Awet muda dan tampak cantik dalam usia 60 tahun. Rahasia kecantikan Hartini, setiap bangun pagi ia segera minum segelas air putih dan olah raga ringan. Juga minum jamu ramuan sendiri berupa kunyit, daun asam, temu, asem kawak, daun beluntas, dan gula merah, yang direbusnya. Ia minum jamu dua kali sehari dan tidak makan yang amis, seperti ikan dan telur.
Nama | Inggit Garnasih | Hubungan | Istri | Riwayat | Sudah lama jalan Ciateul berganti nama menjadi jalan Ibu Inggit Garnasih. Siapakah dia? Berikut satu artikel yang saya temukan. Bung Karno dan H. Agus Salim, mereka berpolemik panjang lebar soal poligami. Bung Karno tidak setuju karena dianggapnya poligami adalah perendahan harkat dan martabat kaum perempuan sebaliknya Agus Salim setuju karena pengertian beliau yang mendalam. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu, Bung Karno istrinya banyak sementara Agus Salim tetap beristri satu. Akhirnya segala sesuatu dikembalikan pada niatnya, yang luar biasa adalah istri Bung Karno, Ibu Inggit. Apabila Bung Karno api maka Inggit kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian. Inggit menjahitkan ketika kancing baju Soekarno lepas, Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai Ibu maupun teman. Inggit bagi Soekarno laksana Khadijah bagi Muhammad. Bedanya Muhammad setia hingga Khadijah meninggal sedangkan Soekarno kawin lagi, melangkah ke gerbang istana dan Inggit pulang ke Bandung, menenun sepi. Dalam kamus hidupnya hanya ada kata memberi tak ada kata meminta. Inggit menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah keluarga, sementara Soekarno seperti singa yang mengaum dari satu podium ke podium berikutnya, pikirannya tercurah untuk pergerakan, Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi. Suatu malam di jalan Jaksa, kedua pasang mata bertemu, Soekarno berkata “Aku cinta padamu”. Inggit tersipu menunduk dalam-dalam sambil mempermainkan ujung kebaya. Itulah cinta yang dibawakan Inggit dengan mesra, tanpa suara tanpa kata-kata, tanpa bahasa. Kejadian yang sangat lazim dan sederhana tetapi merupakan kejadian penting yang terlupakan oleh segenap bangsa. Inggit menemani Soekarno yang terlunta-lunta di pembuangan. Jauh di Pulau Ende lalu di Bengkulu, Inggit tetap menemani, merupakan batere bagi kehidupan Soekarno yang menderita. Tetapi di ujung masa penjajahan Soekarno berkata pada Inggit, “Euis, aku akan menikah lagi supaya punya anak seperti orang-orang lain.” “Kalau begitu antarkan saja aku ke Bandung!” jawab Inggit. “Tidak begitu, maksudku engkau akan tetap jadi istri utama. Jadi first lady seandainya kita nanti merdeka.” “Tidak, antarkan saja aku ke Bandung.” jawab Inggit lagi. Akhirnya Soekarno mengantar Inggit ke Bandung. Kembali tinggal di jalan Tjiateul dan Soekarno balik ke Jakarta. Dalam kesepiannya Inggit selalu berdoa bagi kebaikan Soekarno. Inggit kembali menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang sebagai nafkah. Dagangannya dititipkan di toko Delima. Inggit tidak mengeluh. tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit pada Soekarno. Cinta semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti, tanpa pamrih tanpa motivasi. Siang itu aku lewat di Jl. Ciateul yang sibuk dan panas, yang sekarang dinamakan Jl Inggit Garnasih. Tampak sebuah rumah lama dicat baru, katanya disitu dulu Inggit tinggal dan akan dijadikan museum. Aku tengok isinya … kosong melompong. Tak ada yang ditinggalkan oleh Inggit selain satu pelajaran tentang CINTA.
Sumber dan referensi lain (tidak semua terkait langsung): The Egocentric blog Media Indonesia Online Arsip Debritto Sinar Harapan Review tentang Bung Karno dari Malaysia Artikel majalah Times 10 Maret 1958 |
Nama | Ratna Sari Dewi Soekarno | Hubungan | Istri | Riwayat | Ratna Sari Dewi yang berdarah Jepang bernama asli Naoko Nemoto, merupakan istri kelima dari mantan presiden Republik Indonesia yang pertama yaitu Ir. Soekarno, wanita kelahiran Tokyo, 6 Februari 1940. Yang dinikahi oleh Soekarno pada tahun 1962 itu terdaftar dengan nama lengkap Ratna Sari Dewi Soekarno yang beralamat di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho, 31-1, Tokyo. Bagaimana pula dengan Naoko Nemoto? Dialah geisha yang begitu sempurna di mata Sukarno. Kecantikannya begitu mempesona, sehingga tak kuasa Sukarno meredam hasrat cintanya yang berkobar-kobar. Gadis Jepang ini lahir tahun 1940, sebagai anak perempuan ketiga seorang pekerja bangunan di Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Naoko harus bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada tahun 1955. Setahun kemudian, ia mengundurkan diri, dan menekuni profesi geisha Akasaka’s Copacabana yang megah, salah satu kelab malam favorit yang sering dikunjungi para tamu asing. Ke kelab inilah Sukarno datang pada 16 Juni 1959. Bertemu Naoko, dan jatuhlah hatinya. Setelah itu, Bung Karno masih bertemu Naoko dua kali di hotel Imperial, tempat Bung Karno menginap. Akan tetapi, versi lain menyebutkan, pertemuan keduanya terjadi setahun sebelumnya, di tempat yang sama. Usai lawatan dua pekan, Bung Karno kembali ke Jakarta. Tapi sungguh, hatinya tertinggal di Tokyo… hatinya melekat pada gadis cantik pemilik sorot mata lembut menusuk, sungging senyum yang lekat membekas. Seperti biasa, Bung Karno mengekspresikan hatinya melalui surat-surat cinta. Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Isyarat itu ia tangkap melalui surat balasan Naoko. Tak lama, Bung Karno segera melayangkan undangan kepada Naoko untuk berkunjung ke Indonesia. Sukarno bahkan menemaninya dalam salah satu perjalanan wisata ke Pulau Dewata. Benih-benih cinta makin subur bersemi di hati keduanya. Terlebih ketika Naoko menerima pinangan Bung Karno, dan mengganti namanya dengan nama pemberian Sukarno. Jadilah Naoko Nemoto menjadi Ratna Sari Dewi. Orang-orang kemudian menyebutnya Dewi Soekarno. Tanggal pernikahan keduanya, ada dua versi. Satu sumber menyebut, keduanya menikah diam-diam pada tanggal 3 Maret 1962, bersamaan dengan peresmian penggunaan nama baru: Ratna Sari Dewi berikut hak kewarganegaraan Indonesia. Sumber lain menyebut mereka menikah secara resmi bulan Mei 1964. Agaknya, sumber pertamalah yang benar. Lepas dari kapan Bung Karno menikahi Ratna Sari Dewi, akan tetapi, cinta Bung Karno kepadanya begitu meluap-luap. Jika ia bertestamen agar dimakamkan di sisi makam Hartini, maka terhadap Ratna Sari Dewi, Bung Karno bertestamen agar dimakamkan dalam satu liang. Faktanya, Hartini dan Ratna Sari Dewi yang begitu terlibat secara emosional pada hari terakhir kehidupan Bung Karno. Hartini yang setia mendampingi di saat ajal menjemput. Hartini pun tahu, dalam keadaan setengah sadar di akhir-akhir hidupnya, Bung Karno membisikkan nama Ratna Sari Dewi. Hal itu diketahui pula oleh Rachmawati. Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di akhir hayat, luluh hatinya. Tak ada lagi rasa “tak suka” kepada Hartini maupun Ratna Sari Dewi. Rachma sadar, ayahnya begitu mencintai Hartini dan Dewi, sama seperti besarnya cinta Bung Karno kepada Fatmawati, ibunya. Buah asmara Bung Karno – Ratna Sari Dewi adalah seorang gadis cantik yang diberinya nama Kartika Sari Dewi atau akrab disapa Karina. Bung Karno sempat menimang bayi Kartika, meski jalan hidupnya tak memungkinkan untuk mendampinginya tumbuh menjadi gadis cantik, cerdas dengan jiwa sosial yang begitu tinggi. (roso daras) |
|
|