Kedekatan Arif Dan Bung Karno
Menopang lahirnya sebuah Republik dengan darah dan peluru mungkin sudah terlalu banyak kita dengar. Tapi berjuang dibalik stir kemudi sebuah taksi layak kita pertanyakan, karena dalam nalar sehat kita akan nampak jurang yang cukup jauh antara gempar Revolusi dan seorang sopir taksi.
Logika sehat yang telah hancur ataukah Arif sosok sopir taksi telah merubah sejarah, tapi setidaknya tulisan kecil ini dapat memberikan gambaran tentang Arif si sopir taksi yang memiliki hubungan dengan Bung Karno
Warna-warni bunganya revolusi. Aneka kisah kembangnya sejarah. Tak terkecuali sebait kisah, yang terjalin antara Bung Karno dan seorang sopir taksi bernama Arif.
Masa-masa tahun 1930-an, Bung Karno sangat intens berkomunikasi dengan tokoh pergerakan Betawi, M. Husni Thamrin yang tinggal di Gang Kenari, Kramat, Jakarta Pusat. Setiap minggu, Bung Karno pasti ke Jakarta, menemui Husni Thamrin. Kedatangan Bung Karno selalu menggunakan jasa kereta api, turun di stasiun Gambir.
Setelah keluar peron, Bung Karno akan menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari Arif, sopir taksi langganannya. Arif sendiri tahu. Tak jarang ia justru jalan mengendap-endap, melingkar, menjauhi pandangan Bung Karno, tetapi arahnya mendekat dari belakang. Ketika sudah dekat, barulah ia tepuk pundak Bung Karno dan menyapa, “”Ngelamun Bung!”
Bung Karno pasti berjingkat kaget dan tertawa lebar, “Oh… kau Rif. Saya cari kamu sedari tadi,” tutur Bung Karno, yang digambarkan Arif sebagai pemuda jangkung berparas tampan, selalu mengenakan peci.
“Mau kemana Bung?” tanya Arif, sebuah pertanyaan basi, dilanjut pertanyaan susulan yang lebih basi lagi, “Ke Gang Kenari?”
“Iya dong, mau ke mana lagi…,” ujar Bung Karno seraya berjalan menuju taksi Arif di pelataran parkir.
Setelah duduk, Bung Karno berkata, “Eh… Rif, tetapi kali ini uang saya pas-pasan, bagaimana yaaa…?”
“Soal uang pas-pasan tidak perlu dipikir Bung,” kata Arif. Dalam hati Arif sangat bangga kepada pemuda yang dikenalnya sebagai tokoh pergerakan. Arif sangat senang mendengar cerita-cerita pergerakan, cita-cita kebangsaan, dan obrolan-obrolan ringan dari Bung Karno, setiap berada di dalam kabin taksinya.
Malah tak jarang, Arif yang ketika itu berusia 20-tahun merasa rendah diri, mengingat orang-orang seperti Bung Karno, Hunsi Thamrin sibuk membela kaumnya dari penjajahan Belanda, dia enak-enak mencari rezeki. Karena itu, ia merasa sudah menjadi bagian dari revolusi, meski sekadar mengantar Bung Karno ke Gang Kenari, balik ke Gambir, dengan tak jarang rela tidak dibayar, karena si Bung sedang tipis dompetnya.
Bagi Arif, apa yang dilakukan, sungguh tak berarti dibanding sepak terjang orang-orang seperti Bung Karno, yang tidak pernah berpikir untuk dirinya, bahkan rela berhadapan dengan Belanda, rela pula dipenjara bertahun-tahun. Kisah-kisah Bung Karno tentang marhaenisme, kapitalisme, dan kekejaman kolonialisme, benar-benar telah merasuk dalam peredaran darah merah Arif, si sopir taksi.
Kalimat Bung Karno yang melekat antara lain, “Arif, kita harus sadar bahwa kita ini bukan bangsa tempe, tetapi masih cucu elang rajawali. Coba saja siapa yang tidak kenal tokoh Gajah Mada yang dapat menyatukan Majapahit. Bukankah pada waktu itu negara Majapahit berpengaruh sampai luar negeri? Nah, di sinilah Arif, kita harus sadar sesadar-sadarnya, dan ketahuilah tidak seorangpun dapat mengubah nasib bangsanya kalau bangsa itu sendiri tidak mau berusaha, tidak mau bangkit, mengubahnya sendiri.”
Bagaimana dengan utang-utang Bung Karno kepada Arif? “Ah, Bung Karno itu sangat baik. Kalau dia ada uang, langsung dibayar semua”
Kisah berlanjut hingga ke suatu hari, Arif mengantar Bung Karno ke Gang Kenari. Sebelum turun, Bung Karno berpesan supaya besok pagi dijemput di Gang Kenari, menuju Gambir, selanjutnya kembali ke Bandung. “Besok jemputlah di tempat ini. Jangan lupa Rif, besok pun masih ngutang lagi yaa” kata Bung Karno sambil menepuk pundak Arif.
Arif menyahut, “Bung, jangan berkata begitu terus, bikin malu saya saja… sampai besok pagi bung!”
Keesokan harinya, tanggal 1 Agustus 1933, Arif meninggalkan rumah, mengarahkan taksinya ke Gang Kenari, hendak menjemput Bung Karno. Betapa terkejut Arif, sesampai di Gang Kenari didapat berita bahwa tadi malam Belanda menangkap Bung Karno. Arif menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi kemudi sambil bergumam, “Nasib pejuang. Kemarin masih bercanda sama saya, hari ini sudah meringkuk di penjara.”
Kisah selanjutnya tentang Bung Karno didapat Arif dari para pejuang yang lain, serta dari suratkabar. Arif tetap mengikuti berita tentang pembuangan Bung Karno ke Ende, disusul pembuangan ke Bengkulu, hingga akhirnya Jepang masuk Indonesia tahun 1942. Arif tak pernah lagi berjumpa dengan Bung Karno.
Tiba-tiba pada era pendudukan Jepang, ia kedatangan tamu orang yang sangat dikenalnya… “Arif… apa kabarnya,” sapa tamu itu ramah. Tamu yang dimaksud, tak lain dan tak bukan adalah tokoh pergerakan yang kesohor: Bung Karno. Ia datang bertamu malam-malam ke rumah dengan dua tujuan. Pertama, melunasi semua utang ongkos taksi terdahulu. Kedua, menawarinya pekerjaan menjadi sopir pribadi Bung Karno.
Kisah selanjutnya, Arif selalu bersama Bung Karno. Ia merasa terhormat, Bung Karno tidak melupakan jasa kecil orang kecil seperti Arif, sopir taksi bagi jalannya revolusi. Tercatat, Arif mengabdi sebagai pengemudi pribadi Bung Karno hingga tahun 1960. Saat Bung Karno bertanya, apa keinginan Arif setelah berhenti bekerja? Spontan Arif menyatakan keinginannya pergi ke tanah suci.
Bung Karno pun mengabulkan Arif pergi haji.