Rabu, 18 April 2012

Rahasia Sang Diplomat

Rahasia Sang Diplomat

Tidak terlalu berlebihan bila saya menyebut Presiden Soekarno sebagai Presiden multi talenta. Soekarno seorang orator, Soekarno seorang seniman, Soekarno seorang perayu wanita dan Soekarno mampu menjadi seorang diplomat.

Diplomasi ala Bung Karno memiliki banyak cara, tergantung kapan dan dengan siapa Bung Karno berhadapan. Tapi siapapun lawan bicaranya Bung Karno selalu membuat kita bangga.

Kisah Pertama, terjadi pada saat rapat pimpinan antar negara dalam rangka membentuk aliansi dunia ketiga yakni aliansi bangsa-bangsa Asia-Afrika (belakangan oleh Bung Karno diperluas menjadi Asia, Afrika dan Amerika Latin). Pada sebuah sidang yang dihadiri oleh para pemimpin peserta, terjadi proses pengambilan keputusan yang panjang dan bertele-tele, tidak mengkerucut pada satu kesimpulan. Lalu, bung Karno mengambil inisiatif mendekati Nehru dan membisikkan sesuatu lalu ditanggap dengan anggukan oleh Nehru. Kemudian Bung Karno beranjak ke posisi Gamal Abulnasser, membisikkan sesuatu dan ditanggap dengan anggukan pula oleh si pemimpin negeri Mesir ini.

Tak lama setelah kedua aksi bisik oleh Bung Karno tersebut, ia pun meminta giliran untuk menyampaikan pendapat dan mengusulkan diselenggarkannya Konferensi Asia Afrika di Bandung. Usulan tersebut langsung ditanggapi setuju oleh para hadirin, baik yang berbeda maupun yang sama pendapat.

Rupanya, melihat perbedaan pendapat yang meruncing Bung Karno menggunakan figur Abdul Naser dan Gandi yang berpengaruh masing-masing di Afrika dan Asia. Konon, menurut pengakuan Bung Karno dalam buku yang saya baca tersebut sesungguhnya beliau tak membisikkan sesuatu pesan politik apapun ke telinga kedua pemimpin berpengaruh tersebut. Beliau hanya mengajak makan siang bareng sehabis pertemuan yang melelahkan, bertele-tele dan tak seia-sekata tersebut. Tapi ternyata anggukan kedua pemimpin berpengaruh tersebut dianggap sebagai persetujuan terhadap gagasan Bung Karno yang ia sampaikan beberapa saat setelah berbisik dan diangguki.

Kisah kedua. Kisah kedua ini mengenai kunjungan mendadak Menlu RRC saat sibuk-sibuknya pemerintahan Bung Karno mempersiapkan ajang Games Of New Emerging Forces (Ganefo), sebuah event tandingan terhadap Olimpiade yang diikuti oleh negara-negara Konferensi Asia, Afrika dan Amerika Latin. Konon, didapatkan informasi dari biro intelijen luar negeri bahwa Menlu RRC akan berkunjung ke Indonesia sekitar dua minggu ke depan.

Kunjungan mendadak dan tempo yang singkat antara informasi kunjungan dengan pelaksanaan kunjungan membuat para pemimpin Indonesia kelabakan. Kementrian luar negeri di bawah Soebandrio meminta informasi akurat dari kedutaan dan jejaring informasi luar negeri mengenai maksud kunjungan menlu RRC tersebut. Namun baru dua hari menjelang kunjungan menlu RRC tersebut barulah didapatkan informasi maksud kunjungan tersebut. Ternyata maksud kunjungan tersebut adalah mempertanyakan kebijakan pemerintahan Bung Karno yang membatasi ruang gerak bisnis etnis Tionghoa di Indonesia, hanya boleh di Kota Kabupaten, jadi etnis tionghoa tidak boleh berbisnis di kota kecamatan, apa lagi sampai ke desa.

Berhubung maksud kunjungan tersebut baru diterima dua hari menjelang kedatangan tamu kehormatan. Soebandrio dan jajaran Menlu RI gugup serta panik karena belum sempat mengumpulkan informasi untuk memberi jawaban yang memuaskan sang sahabat yang sangat diperlukan tersebut (sangat dibutuhkan karena RRC dan Rusia sangat dibutuhkan bantuannya dalam persiapan program Ganefo yang sedang dalam progres). Maka Soebandrio pun menghadap Bung Karno dan menyampaikan maksud kunjungan Perdana Menteri RRC dan berkonsultasi bagaimana cara menajawabnya. Lalu, Bung Karno dengan enteng menjawab: “sudah, nanti yang menyambut dan menemuinya oleh saya saja”, begitulah kira-kira jawaban Bung Karno kepada Soebandrio.

Ketika tamu kehormatan itu datang. Bung Karno dengan santai dan hangat menyambut tamu dengan hangat. Ketika sampai pada topik pembicaraan mengenai misi diplomasi Menlu RRC, Bung Karno menjelaskan bahwa RRC dan Indonesia adalah sesama negara sosialis. Dalam hubungan ideologis ini, RRC adalah saudara tua bagi Indonesia yang masih baru. Bung Karno menjelaskan pula bahwa di desa-desa Indonesia pada dasarnya sudah menganut sosialisme secara kultural. Sedangkan di perkotaan nafsu kapitalisme masih mengancam sosialisme Indonesia, oleh karena itu saudara-saudara kita yang etnis Tionghoa diminta berkonsentrasi melakukan peran ekonomi sosialismenya di perkotaan.

Penjelasan Bung Karno tersebut entah memuaskan atau membuat Menlu RRC mati kutu tak bisa menjawab, yang jelas Menlu RRC kemudian pulang ke negrinya dan hubungan RRC-Indonesia tetap baik-baik dan mesra sesudah pertemuan itu hingga berakhirnya masa kekuasaan Bung Karno.

Itulah sekelumit penggalan kisah Presiden Soekarno dalam malaksanakan diplomasinya, ringan, santai namun yang terpenting Presifen Soekarno selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi menghadapi siapa dan dalam kondisi apapun. Bagaimana dengan pemimpin kita saat ini ?