Foto BK untuk Oei Hong Kian
Sidang Istimewa MPRS 7-12 Maret 1967 menghasilkan keputusan untuk menarik mandat dari Pemimpin Besar Revolusi itu. Bung Karno harus keluar dari Istana Merdeka. Dalam nama ia masih presiden, tetapi dalam kenyataan ia tahanan rumah di Bogor. Mungkin BK sebelumnya sudah merasa bahwa hal itu akan terjadi. Namun tetap saja, keputusan itu bagaikan sambaran petir. Majelis yang sebagian besar anggotanya dia pilih, berbalik menentangnya.
Pertengahan April 1967 drg. Oei Hong Kiankedatangan Pak Djamin, utusan Bung Karno. Selain menyampaikan salam BK, ia juga mengantarkan satu set ballpoint dan pena Mont Blanc, sehelai dasi sutera warna putih berinisial ‘S’, serta sebotol besar parfum Shalimar buatan Guerlain. Ada juga sampul besar berisi foto Bung Karno ukuran 17,5 X 23 cm dengan tulisan: “Untuk Dr. Oei Hong Kian” dan dibubuhi tanda tangan BK serta tanggal 12-4-1967.
Malam harinya Oei Hong Kian memperhatikan foto BK dengan seksama. Dia merasa terharu. Oei Hong Kianmersakan bahwa BK pada saat itu pasti sedang dalam keadaan sulit. Tetapi rupanya ia tidak lupa menunjukkan penghargaan kepada dokter giginya yang baru beberapa bulan dikenal.
Keharuan juga terasa ketika mengingat pertanyaannya yang disampaikan lewat Pak Djamin apakah Oei Hong Kian masih dapat menghargai fotonya? Maklum, foto itu diberikan pada saat ia bukan lagi presiden. Mungkin itu termasuk salah satu foto terakhir yang ia berikan secara pribadi kepada seseorang.
Dalam fikiran Oei Hong Kian mengira hubungannya dengan BK telah berakhir. Menurut berita burung yang dia dengar, kesehatan BK menurun drastis. Ingatannya lemah, jalannya pincang.
Tiba-tiba sekitar awal September 1967, dokter pribadi BK memberitahu bahwa BK ingin berobat lagi. Ia akan datang ke rumah drg. Oei Hong Kian. Dokter pribadi itu berpesan agar Oei Hong Kian memperhatikan keamanan. Tapi, apa yang bisa dilakukan seorang dokter gigi untuk melindungi keamanan pasiennya?
Dalam konsidsi yang serba sulit Oei Hong Kian memutuskan agar BK memasuki rumah lewat pintu samping. Kedua mobil Oei Hong Kian akan dikeluarkan dari garasi, lalu pintu garasi akan dibuka lebar-lebar. Begitu mobil BK masuk ke garasi, pintunya akan ditutup.
Pukul 08.45 keesokan harinya, seorang prajurit datang mengendarai jip militer. Ia menyetujui prosedur yang Oei Hong Kian tawarkan. Tepat pukul 09.00 BK tiba dengan sedan Mercedes 600, diiringi lima jip putih penuh prajurit. Cuma tidak ada raungan sirene, dan fungsi pengawalannya sudah berbeda.
Bung Karno duduk di bangku belakang yang sangat lapang, tetapi tanpa ajudan. Celananya abu-abu, bajunya putih berlengan pendek dan dibiarkan keluar. Peci hitam tidak ketinggalan. Ia kelihatan sehat wal afiat. Dengan gesit, tanpa bantuan, ia keluar dari mobil.
“Selamat pagi, Pak Dokter,” sapanya sambil mengulurkan tangan. “Tidak disangka-sangka, ya, kita akan bertemu lagi dalam waktu secepat ini. Ini, gigi saya ada yang terganggu. Bagaimana, baik-baik semua?” Sikapnya biasa saja, seolah-olah tidak ada sedikit pun ganjalan di dalam hati.
Oei Hong Kian persilakan BK masuk ke kamar praktik. Seorang prajurit mengikuti, tetapi ditolak oleh drg. Oei Hong Kian. Dia bilang tidak bisa bekerja sambil ditunggui. Untunglah si prajurit mengerti walaupun semula menolak.
Oei Hong Kian dibantu keponakan istrinya, seorang wanita dokter gigi juga. Bung Karno rupanya selalu ingat pada nama orang yang dijumpainya. Sejak itu, kalau keponakan istri Oei Hong Kian tidak ada, BK tak pernah lupa menanyakannya.
Oei Hong Kian merasa lega melihat keadaan BK tidak menyedihkan. Pria itu masih tetap jernih, riang seperti dulu, dan juga penuh humor.
Sambil melepaskan pecinya, BK bertanya, “Saya ingin tahu, apakah Pak Dokter masih bisa menghargai foto saya?”
“Bapak tentu pernah memberikan foto kepada banyak orang. Tetapi karena Bapak memberikannya kepada saya pada saat itu, foto itu tinggi nilainya bagi saya.” Demikian Oei Hong Kian menjawab pertanyaan BK namun demikian perasaan haru sangat menyelimuti batin dan hati Oei Hong Kian.
Oei Hong Kian belum lama mengenal BK. Saat ia terpukul karena kekuasaannya dilucuti, ternyata ia masih ingat memberikan cendera mata. Apakah itu penghargaan atas pelayanannya sebagai dokter gigi, ataukah tanda mata bagi salah satu dari segelintir orang yang membantu mengusir kesepiannya di saat sulit, walau cuma sebentar?
“Bapak saat ini tidak bisa memberi imbalan apa-apa,” lanjut BK. Mendengar ucapan BK Oei Hong Kian sampai tidak bisa berkata-kata. Mungkin ia tahu tidak ada yang memikirkan honorarium saya. Terus terang Oei Hong Kian sendiri juga tidak pernah memikirkannya. Oei Hong Kian tahu bahwa dalam keadaan normal dokter pribadi akan memperoleh fasilitas khusus. Namun saat itu bukanlah keadaan normal. Yang ada sat ini adalah BK diambang senja kekuasaannya
Ketika akan pulang, BK minta bertemu dengan istri Oei Hong Kian. Di ruang duduk istri Oei Hong Kian mempersilakan BK untuk singgah, tetapi BK menolak. “Terima kasih. Nanti suami Anda bisa dikira yang bukan-bukan kalau saya berlama-lama di sini.”
Walau tidak pernah berlama-lama, BK beberapa kali datang lagi untuk periksa. Suatu kali, ketika ia datang, putri Oei Hong Kian sedang mengerjakan PR. Bung Karno mengusap-usap kepala anak itu sambil berkata, “Belajar baik-baik ya, Nak. Supaya nanti pandai.”
Kebetulan putri Oei Hong Kian yang nomor tiga memasuki ruangan. “Wah, kau pasti ingin jadi dokter kelak, seperti ayahmu,” kata BK seraya mengampiri anak itu dan (juga) mengusap-usap kepalanya. Kedua putera Oei Hong Kian itu belakangan memang menjadi dokter gigi.
Pada suatu pagi BK datang tanpa iringan jip.
“Kok sendirian, Pak?” tanya Oei Hong Kian.
“Mereka belum datang. Padahal saya tidak mau terlambat.” Bung Karno memang selalu datang sesuai waktu perjanjian. Hal itu tentu sangat memudahkan Oei Hong Kian yang anti jam karet.
Bung Karno memerlukan dua-tiga kali kunjungan setiap kali merasa giginya terganggu. Suatu saat ia berkata, “Saya ingin bicara blak-blakan. Saya ingin tinggal agak lama sedikit di Jakarta. Di Jakarta saya lebih dekat dengan anak-anak. Tapi mungkinkah itu?”
Pada saat itu BK tinggal di Bogor. Tetapi kalau sedang membutuhkan perawatan, ia tinggal di Wisma Yaso (Museum ABRI Satria Mandala) di Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Dari situ BK hanya boleh pergi-pulang ke rumah Oei Hong Kian.
Mendengar pertanyaan yang agak merenyuhkan maka Oei Hong Kian spontan menjawab, “Tentu mungkin, Pak. Waktu pengobatan bisa diulur. Seandainya diulur tiga minggu, cukup Pak?” BK kelihatan gembira sekali. “Wah, terima kasih banyak!” Oei Hong Kian sampai terharu karena hal kecil saja bisa membuat bahagia bekas presiden yang pernah menggegerkan pata tokoh dunia namun saat ini sedang kesepian dan terasing.
Selama lebih dari setahun merawat gigi BK, Oei Hong Kian tak pernah membicarakan soal politik. Suatu kali BK bertanya di mana Profesor Ouw, dokter giginya sebelumnya, berada. Oei Hong Kian jawab, dia di Hong Kong. Bung Karno tidak mengerti mengapa ia pindah ke sana.
“Itu karena Bapak,” kata Oei Hong Kian.
“Saya disalahkan lagi,” ia menanggapi.
“Ya. Bapak mengangkatnya jadi anggota DPA. Ketika mahasiswa mulai bergolak, ia takut dan cepat-cepat pergi.”
“Namun ia toh bisa pamit. Atau paling sedikit bisa menulis surat,” BK ngotot.
Oei Hong Kian hanya bisa mengatakan bahwa orang itu takut.
Dua anak Oei Hong Kian sedang menuntut ilmu di Universitas Amsterdam. Tak lama lagi kedua adiknya akan menyusul. Jadi Oei Hong Kian hanya akan berdua dengan istrinya di Jakarta. Daripada terpisah-pisah, lebih baik pindah saja ke Amsterdam.
Ketika BK datang pada bulan Februari 1968, Oei Hong Kian beritahukan rencananya untuk pindah pada akhir Maret.
Bung Karno menanggapi, “Tidak perlu menjelaskan kepada Bapak apa artinya kesepian. Bapak mengerti. Tapi kita masih akan berjumpa beberapa kali lagi, ‘kan?”
Pertengahan Maret BK menyatakan ingin pulang ke Bogor. Padahal Oei Hong Kian akan memasang tambalan emas pada gigi BK. Diantara dua sahabat itu berjanji akan bertemu untuk terakhir kalinya 21 Maret 1968.
Ternyata antara tanggal 21-30 Maret 1968 ada Sidang Umum MPRS, Oei Hong Kian diberitahu pihak berwajib bahwa BK tidak bisa datang pada tanggal itu. Ternyata pada hari-hari berikut pun BK tidak datang. Padahal tanggal 30 Maret Oei Hong Kian harus berangkat. Terpaksa pemasangan tambalan emas pada gigi BK dipercayakan kepada rekannya sejawat.
Dan sejak itu Oei Hong Kian tidak pernah lagi bertemu dengan BK, yang tersisa adalah cedera mata dari BK yang senatisa mengingatkan drg. Oei Hong Kian bahwa dia pernah menjalin persahabat dengan BK disaat kekuasaan tak lagi di tangan BK. Dan mungkin Oei Hong Kian hanya bagian dari segelintir orang yang berani menjalin persahabatan dengan BK disaat Putera Sang Fajar akan menjelang runtuh.