Sabtu, 30 Maret 2013

Presiden Yang Terlupakan


Berbicara tentang presiden, umumnya orang Indonesia hanya mengenal Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal masih ada 2 presiden Indonesia yang jarang sekali disebut. Yakni Syafrudin Prawiranegara dan Mr. Assaat.

1. Syafrudin Prawiranegara

Syafrudin Prawiranegara pernah menjabat sementara ketika eranya Soekarno. Syafrudin Prawiranegara menjabat Presiden/ketua PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) ketika Soekarno dan M. Hatta ditawan Belanda dan ketika ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Agar pemerintahan berjalan, akhirnya dibentuklah PDRI dengan Syafrudin Prawiranegara sebagai penjabat Presiden. Syafrudin menjabat Presiden Indonesia Darurat sejak 19 Desember 1948.

Mr. Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.

2. Mr. Assaat

Mr. Assaat (lahir di Dusun Pincuran Landai,Kanagarian Kubang Putih, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, 18 September 1904. Beliau meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976 pada umur 71 tahun) adalah tokoh pejuang Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).

Latar belakang dan keluarga

Assaat belajar di sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta. Merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melajutkan studinya ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta.

Mr. Assaat menikah dengan Roesiah, dari Sungai Pua di Rumah Gadang Kapalo Koto 12 Juni 1949, Dikaruniai dua orang putera dan seorang puteri.

Pendidikan dan praktik advokat

Ketika menjadi mahasiswa RHS, ia memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, alam gerakan pemuda dan politik. Saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karier politiknya makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar "Perhimpunan Pemuda Indonesia". Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda".

Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke dalam politik "Partai Indonesia" atau Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo seperti: Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dll. Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walau sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar "Meester in de Rechten" (Mr) atau Sarjana Hukum.

Sebagai seorang non-kooperator terhadap penjajahan Belanda, sekembalinya ke tanah air di tahun 1939 Mr. Assaat berpraktik sebagai advokat hingga masuknya Jepang di tahun 1942. Di zaman Jepang beliau diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.

KNIP dan RIS

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya (BP-KNIP) pada masa revolusi dua kali mengadakah hijrah. Karena situasi dianggap terlalu riskan, dan agar Revolusi Indonesia tetap berjalan. Berkedudukan awal di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian Jakarta) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Sekitar tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta. Kemudian pada tahun itu pula, pindah ke Purworejo, Jawa Tengah. Sampai saat situasi Purworejo dianggap kurang aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta.

Pada saat itu Mr. Assaat duduk sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama kemudian dia ditunjuk menjadi ketua KNIP dan BP-KNIP. Tahun 1946-1949 (Desember) ia menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Ia terpilih menjadi ketua KNIP terakhir. Hingga KNIP dibubarkan, kemudian ia ditugasi sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.

Diasingkan

19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di Manumbing di Pulau Bangka.

Acting Presiden Republik Indonesia

Desember 1949 - Agustus 1950, Mr.Asaat menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.

Saat menjadi Acting Presiden RI, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), hinga duduk dalam Kabinet Natsir, menjadi Menteri Dalam Negeri.

Setelah Kabinet Natsir bubar, ia kembali menjadi anggota Parlemen. Pada tahun 1955 ia menjabat sebagai formatur Kabinet bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terjadi ketidak puasan daerah terhadap beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah mendukung Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena secara formal, ditolak oleh Parlemen.

Pertentangan dengan Pemerintah Pusat

Ketika Presiden Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin , Assaat menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, yang ditentangnya adalah politik Bung Karno yang seolah-olah condong ke sayap kiri Partai Komunis Indonesia.

Mr. Assaat merasa terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran terselubung, ia selalu diawasi oleh intel serta PKI. Dengan berpura-pura "akan berbelanja" ia bersama keluarganya melarikan diri dengan berturut-turut naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan menuju Stasion Tanah Abang. Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu di Sumatra Selatan sudah terbentuk "Dewan Gajah" yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk "Dewan Banteng". Kol. Simbolon mendirikan "Dewan Gajah" di Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual membangun "Dewan Manguni" di Sulawesi.

Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang dipengaruhi oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.

Akhir Hayat, Upacara Kebesaran

Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr. Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani "hidup" di dalam penjara "Demokrasi Terpimpin" selama 4 tahun 1962-1966. Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.

Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.

Pribadi

Bagi orang-orang yang mengenalnya, Asaat adalah pribadi yang sederhana. Ketika menjadi Penjabat Presiden, menurut pers, beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, lebih memilih panggilan Saudara Acting Presiden. yang menjadi agak canggung pada waktu itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja saya "Bung Presiden".

Assaat bukan ahli pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh. Beliau taat melaksanakan ibadah, tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan beliau adalah pemimpin yang sangat menghargai waktu, seperti juga Bung Hatta.
Share this article :