Religi & Religiusitas Bung Karno
BUNG Karno kira-kira berkata begini, “Tubuh bisa ditiadakan, tetapi roh tidak”. Bung Karno telah tiada, tapi rohnya, bahasa dan spiritnya masih hidup, tidak bisa ditiadakan, bahkan tidak bisa dibiarkan berlalu tanpa tarikan empati, lebih-lebih masa sekarang. Di tengah krisis serba muka seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, roh Soekarno hidup kembali, seolah-olah berkata: “Katakanlah sekarang tentang apa yang telah saya katakan waktu dahulu”. Yang kita butuhkan sekarang adalah “kata” atau wacana, yang membawa proses penyadaran, pencerahan, dan membuat kita berpikir,berimajinasi.
Kiranya tak berlebihan apabila saya sebutkan bahwa Bambang Noorsena dengan tulisannya tentang Religi & Religiusitas Bung Karno (Institute for Syriac Christian Studies, Malang, Jawa Timur, 2000) telah menunjukkan kepekaannya untuk merespons ajakan untuk berkata-kata tentang roh yang hidup itu. Bambang Noorsena (BN) sebagai anak bangsa yang sadar tentang hari kemarin, tampak sadar pula bahwa sebuah keharusan sejarah, apabila ia mau berpikir tentang masa depan, dan harus mau bicara dengan “orang tua” yang telah turut melahirkan bangsanya. Bicara tentang atau dengan Bung Karno sebagai roh yang hidup, tak bisa tidak, kita akan bertemu dengan ratusan riwayat yang telah ditulis, baik oleh orang asing maupun oleh penulis dalam negeri.
Percakapan BN dengan Bung Karno dalam buku ini banyak didasarkan atas kajian yang dilakukan oleh para pengamat luar negeri, yang tak bisa disangkal banyak kali lebih jeli ketimbang penulis dalam negeri. Tetapi, dengan buku ini BN menunjukkan dengan terang bahwa sekalipun ia banyak memakai kajian-kajian dari para ahli di luar negeri, namun ia tetap ingin menemui Soekarno “dari dalam”, khususnya dari kepentingan yang didorong oleh kebutuhan masyarakat untuk mencari perspektif demi melihat hubungan antar-etnis dan antar-agama secara baru di negeri ini.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 1999, sebagaimana dikutip oleh BN, berkata, “Kita tengah didera oleh perbedaan faham yang sangat besar. Dan longgarnya ikatan-ikatan kita sebagai bangsa. Apa yang oleh Bung Karno diajarkan, … kita mempunyai alasan untuk menjadi satu bangsa…”. Dalam kutipan ini kita memperoleh titik tolak yang sungguh kena untuk berbicara tentang pikiran-pikiran utama Bung Karno tentang religi dan religiusitas. Adapun alasan utama yang tampak menggejala di masyarakat adalah bahwa perbedaan fahamyang besar itu juga terdapat dalam kehidupan beragama. Kenyataanini pula turut menyebabkan longgarnya ikatan kita sebagai bangsa.Apa yang dilakukan oleh BN bukan sekadar mengedepankan apayang dikatakan oleh Bung Karno, tetapi berusaha memakai umpan baru untuk memancing pemikiran Bung Karno tentang berbagai hal yang merisaukan dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang. BN melakukan “penggeseran-penggeseran” tertentu atas gagasangagasan Bung Karno, dan menamainya dengan term baru yang lebih kontemporer. Posisi spiritual Bung Karno dilapisi dengan kata-kata baru agar lebih tinggi supaya tampak oleh banyak orang. Ungkapanungkapan seperti passing over, etika global, holistic spirituality, panentheisme, sakramentalis, teologi kerukunan, dialog, dan lain-lain merupakan upaya untuk memperoleh roh yang hidup dari Bung Karno. Pemahaman yang dilakukan oleh BN memang dimungkinkan oleh posisi Bung Karno sendiri yang terbuka, dan seolah-olah berstatus selaku bahan yang belum “jadi”, serta tersedia bagi para pemikir kreatif generasi sesudahnya. Gagasan Bung Karno laksana bahan bangunan yang tersedia bagi para arsitek untuk membentuknya menjadi bangunan yang diingininya, baik fungsinyamaupun keindahannya.
***
Pada tataran pemikiran keagamaan yang begitu luas, kaya dan bermacam ragam, pilihan-pilihan untuk memahami religi dan religiusitas Bung Karno terbentang lebar. Lebih-lebih lagi bila pikiranpikiran Bung Karno didekati dari sisi spiritualitas. Akan segera tampak bahwa kehidupan spiritual Bung Karno dari sejak masih muda tidak hanya diilhami oleh agama-agama semitik yang dikenal sebagai Abrahamic faiths yang berciri monoteis, misioner, doktriner, eaksional, dan bercorak politis. Ternyata, religiusitas Soekarno juga dibentuk oleh pertemuannya dengan “agama-agama Timur” yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan agama-agama turunan Ibrahim atau Abraham, khususnya yang telah diperkembangkan di dunia Barat.
Latar belakang Kejawen, Hindu dan Buddhisme amat kuat mendasari spiritualitas Soekarno sehingga ia jauh dari sifat “ortodoksdogmatis” dalam pemikiran keagamaannya, dan tidak bercorak formal santri dalam keislamannya. Soe-karno menyenangi bentuk sufisme yang bebas, agama yang diperlukan sebagai “bahasa kasih sayang”, bahkan agama yang penuh pasi (passion). Sekalipun kita tahu bahwa kontroversi tentang hal itu juga masih terbuka untuk dijadikan diskursus yang kritis. Setidak-tidaknya posisi keagamaan Soekarno berbeda misalnya dengan Haji Agus Salim, A Hassan, dan Mohammad Natsir, yang dikenal sebagai pemikir-pemikir Islam yang bercorak ortodoks (rasional dan bercorak doktriner). Bernard Dahm dalam ke-”jerman”-annya bertindak terhadap Bung Karno seperti Karl May terhadap Winnetou. Menjadi jiwa yang menarik dan amat imajinatif; bukan hanya karena Dahm selama menulis tentang Soekarno belum pernah ke Indonesia, boro-boro ketemu dengan Bung Karno. Di bayangan Dahm Bung Karno total menjadi seorang tokoh dalam sebuah epos. Dari awal yang bersandar pada “local genius” yang amat diapresiasikan oleh Dahm, sampai kepada keyakinan Bung Karno yang tidak ada duanya, dan amat kategoris terhadap “nasionalisme, agama, dan marxisme”. Seolah-olah ketiganya merupakan doktrin trinitas dalam agama Kristen yang tak bakal ditinggalkan sampai kapan pun dunia akan berakhir.
Bung Karno tidak mau menyerahkan apa yang sudah dimilikinya, bahwa ketiga hal tersebut merupakan kenyataan substansial dan sekaligus pilar bagi eksistensi Indonesia. Menurut Dahm, Bung Karno tak mau mundur selangkah untuk mempertahankan keyakinan tentang “ketiga yang esa” tersebut. Seolah-olah Bung Karno rela mati demi “iman” yang telah ditemukannya, yaitu keyakinannya kepada “nasionalisme”, sosialisme, dan agama”. Ideologinya, bersama dengan Pancasila baginya merupakan sesuatu yang “ultimate” untuk Indonesia yang bersama Hatta ia proklamasikan. Bagaimanapun dalam kaitan ini, keadilan bagi Soekarno harus ditegakkan kembali, sebagai bapak bangsa yang punya pendirian teguh dan memiliki keyakinan. Di tengah padang spiritualitas yang mahaluas, dengan fungsinya yang khusus untuk mendukung perjuangan kemerdekaan lewat nasionalisme, Soekarno bertahan dan tidak mau bergeser sedikit pun dari tempatnya. Bung Karno menempatkan agama selaku kekuatan “revolusioner” untuk mendukung nasionalisme Indonesia.
Imajinasi Bung Karno tentang nasionalisme dan faham kebangsaan bukan sekadar olah intuisi dan imajinasi tanpa pijakan realitas. Peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan titik pusat dari keberhasilan menggalang nasionalisme sejak ia masih menjadi mahasiswa. Nasionalisme untuk melawan penjajahan, yang berupaya menemukan jati diri, “self-esteem”, dan kepribadian nasional.
Di masa Perang Dingin, ketika blok Barat berhadapan frontal dengan blok Timur, agaknya tantangan yang dihadapi Soekarno melebihi takaran yang bisa ia tanggung. Muatan konflik yang tak terdamaikan antara kubu kapitalisme dan sosialisme di tingkat internasional agaknya terlalu besar untuk dituang dalam mangkuk konteks kehidupan politik Soekarno yang hanya sebatas nasionalisme Indonesia. Alhasil, muatan itu meluap tumpah ruah, serta menimbulkan gejolak di dalam negeri yang tak terbendung, serta menimbulkan korban besar di sekitar tahun 1965. Akan tetapi, di masa pasca-Perang Dingin sekarang ini telah tiba momentum untuk memikirkan kembali relevansi pemikiran-pemikiran penting Soekarno, khususnya dalam soal hubungan agama.
Sekarang terbuka kemungkinan untuk mengurai pemikiran dari “local genius” pemikir politik Indonesia tanpa rasa minder. Kita tidak lagi menanggung beban psikologis, baik yang menggejala dalam bentuk xenophobia maupun dalam bentuk sikap ketergantungan kepada bangsa lain tanpa harga diri. Saatnya telah tiba untuk menggali
kembali pikiran-pikiran dari para bapak dan ibu bangsa. Yang terasa menyegarkan dari tulisan Bambang Noorsena adalah karena ia tidak hanya berhenti pada polemik tentang karya besar Clifford Geertz dari bukunya The Religion of Java, tetapi juga melanjutkan runutannya jauh ke belakang, dan sampai kepada karya Empu Tantular Sutasoma. Karya ini merupakan sebuah tradisi pemikiran yang menjadi cikal-bakal dari khazanah kebudayaan Jawa yang melahirkan Soekarno. Dari sanalah lahir pemikiran tentang hubungan antara negara dan agama, dan sekaligus hubungan antaragama di masyarakat. Tantularisme, di masa yang penuh krisis dan gejolak sekarang ini memberikan inspirasi yang luar biasa kuat untuk membingkai kembali keterpecahbelahan bangsa menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Adapun konsep Soekarno tentang “panteisme-monoteisme” oleh BN digeser menjadi “panentheisme”. Satu merupakan ekspresi dari yang lain, dan manusia tak mungkin mengenal Tuhan tanpa alam semesta, termasuk di dalamnya dunia manusia. Ungkapan lain yang barangkali akan lebih bisa diterima oleh tradisi pemikiran agama di Indonesia, adalah “panin-teisme”. Di dalam istilah ini alam semesta dimasukkan ke dalam sebuah kepercayaan theisme. Dengan kata lain, alam semesta itu berada dalam naungan Tuhan, implikasinya adalah bahwa Tuhan adalah yang pertama dan utama, lebih besar dari alam semesta; dan oleh sebab itu meliputi dan menguasai alam semesta sehingga secara eksplisit bisa dikatakan bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan, tetapi Tuhan, dalam bentuk tertentu yang bisa dikenal manusia berada di dalamnya. Alam semesta adalah “teks” yang melukiskan kebesaran Tuhan. Kehadiran-Nya di dalam alam semesta adalah tetap kehadiran yang harus dimaknai sebagai kehadiran sebagai pencipta. Konsep itu merupakan suatu wadah bagi kesadaran dan tanggung jawab akan alam, lingkungan, dan sesama manusia, dan sekaligus sebagai dasar bagi kesadaran akan pluralisme agama, dialog dan kerja sama antarpara pemeluk agama.
Para pengamat dan para ahli dengan penuh empati memberikan persetujuan terhadap berbagai gagasan Soekarno, tetapi baru sedikit yang benar-benar memberikan kajian yang cukup mendalam terhadap berbagai implikasi pemikiran Soekarno tentang religi yang ditawarkannya. Pada masa sekarang ini ketika religi dan seluruh bangsa dan negara Indonesia berada dalam krisis multidimensional, muncul sebuah kebutuhan baru untuk menggali kembali pikiranpikiran para founding fathers untuk memperdalam dan memperluas persepsi tentang persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan negara. Upaya-upaya serius digelar untuk memulai wacana baru dengan pijakan pemikiran yang telah ada dalam khazanah sejarah Indonesia.
Bambang Noorsena telah berusaha memulai tugas penggalian terhadap salah satu founding fathers yang terpenting yaitu Soekarno. Dengan suatu pendekatan “dari dalam”, dalam arti dengan penuh empati menelaah pemikiran Soekarno dan sekaligus berusaha untuk memanfaatkannya sebagai cermin untuk memahami dan mencari jalan keluar terhadap kemelut hubungan antar-etnis dan khususnya antar-agama di negeri ini, beberapa tahun terakhir ini. Menurut saya, Bambang Noorsena berhasil memetik beberapa puncak pemikiran Soekarno tentang religi dan religiusitas guna menjembatani konflik yang sekarang ini sedang terjadi. Dengan melacak jauh ke belakang kepada pemikiran-pemikiran Empu Tantular, “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrowa”, kita telah menemukan kearifan baru dari masa lampau yang lahir dari pengalaman dan refleksi lokal. Tatapan terhadap “Tantularisme” tersebut telah memberikan suatu basis “universal” bagi agamaagama, khususnya agama-agama dalam tradisi Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) untuk bercermin dalam suasana kehidupan yang penuh respek, toleransi, dialog, dan kerja sama demi mewujudkan masyarakat yang diingini bersama. Dengan konsep “panteismemonoteisme” yang dirumuskan oleh Soekarno sendiri, agama-agama dibuka untuk menghargai alam, baik alam maupun kehidupan manusia.
Keunggulan spiritualitas Bung Karno saya kira terletak pada kenyataan bahwa ia menyadari keterbatasan dari bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang menggejala (manifest) di masyarakat. Kelonggaran ini memberi peluang bagi para penganut agama yang berbeda untuk saling menghargai keunikan masing-masing keyakinan, serta membuka kemungkinan untuk saling memperkaya satu dengan yang lain, dan terutama untuk saling membuka kemungkinan untuk bekerja sama di masyarakat guna memecahkan soal-soal kemanusiaan bersama. Dalam buku BN, Soekarno muncul kembali sebagai “batu penjuru” yang bisa mengukur lurusnya bangunan sebuah bangsa.