Agus Salim Menafsirkan PANCASILA
Tafsir Pancasila versi Agus Salim
HAJI AGUS SALIM, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945 telah menge-mukakan ulasan dan penafsiran dirinya terhadap Pancasila. Hal itu beliau tulis dalam sebuah karya tulisnya berjudul Ketuhanan Yang Maha Esa. Tulisan beliau itu selengkapnya kami paparkan di bawah ini.
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, yang terkandung di dalamnya lima pasal, pokok-pokok idiologi yang diberi nilai terpenting dalam pendirian Republik kita, sebagai negara merdeka dan berdaulat. Merdeka artinya negeri dan rakyat tidak takluk kepada dan tidak tunduk dibawah kekuasaan asing. Berdaulat, artinya negeri dan rakyat memiliki kekuasaan penuh untuk meng-adakan dan menjalankan hukum atas negeri dan bangsa sendiri.
Sebagai suatu semboyan politik, maka ucapan yang mengatakan Republik kita berdasarkan Pancasila nyatalah tidak menegaskan mana tiap-tiap kata yang terpakai di dalamnya dan tidak mengikat tafsirnya dengan kepastian makna yang mesti dipakai dengan tiada syak atau ragu-ragu. Dengan demikian diharapkan, supaya rata-rata segala golongan yang mengikuti berlain-lain aliran pikiran dalam berbagai kepartaian, perhimpunan, perserikatan, yang merupakan lembaga atau badan atau yang tidak tergabung dengan bentuk yang tertentu, pada umumnya dapat menyetujui atau sedikitnya, tidak ada keberatan untuk mene-rima semboyan itu dijadikan lambang persatuan yang meliputi segenap bangsa kita. Dan dalam tiap-tiap pernyataan atau statement yang bersifat nasional, yakni atas nama rakyat sebangsa sege-napnya, kita gunakan semboyan Pancasila itu, dengan menjaga betul-betul, jangan sampai kita tegaskan paham kita yang sejelas-jelasnya tentang tiap-tiap kata itu, oleh keyakinan kita, bahwa dengan menegas-negaskan makna itu akan kentara-lah pertikaian yang tersimpan di dalam semboyan, yang ke luar merupakan persatuan itu.
Akan tetapi dengan kehati-hatian menjaga persatuan ke luar itu, kita terus menerus mem-biarkan tiap-tiap aliran paham kepartaian, dan lain-lain sebagainya itu, menanamkan, mendidik dan memasak-masakkan di dalam kalangan masing-masing sendiri, fahamnya sendiri-sendiri yang menyimpang, bertikaian bahkan barangkali ber-tentangan dengan faham aliran-aliran yang lain. Sebaliknya kita menjauhi satu-satunya jalan, yang mungkin sungguh-sungguh menolong menambah luasnya persatuan faham yang nyatalah lebih berharga daripada paras persatuan yang di-tujukan ke luar itu.
Inilah bahayanya persatuan dan kesatuan yang kita perlukan untuk kita seru-serukan ke luar, yang menyebabkan kita ngeri menilik kepada retak dan belah, kepada perceraian dan pertentangan di dalam kalangan ummat kita yang sebangsa dan setanah air.
Pada mulanya semboyan persatuan itu kita harapkan mempengaruhi faham tentang asas, tujuan dan perjuangan tiap-tiap aliran (kepartaian, dan lain-lain sebagainya) kita harapkan bahwa tiap-tiap aliran itu akan berikhtiar menyesuaikan fahamnya, dan selanjutnya asas, tujuan dan perjuangannya itu dengan semboyan persatuan itu. Tapi oleh karena tiap-tiap aliran membawa pulang semboyan itu ke dalam kalangan kaum dan pengikut-pengikutnya sendiri-sendiri, maka sebaliknya yang sesungguhnya berlaku. Yaitu, tiap-tiap aliran menafsirkan Pancasila kita bersama itu sesuai dengan keterangan asasnya, acara tujuannya dan rencana perjuangannya. Dan lama kelamaan tiap-tiap aliran akan membang-gakan bahwa hanya ialah yang berpegang kepada Pancasila yang sejati. Dan masing-masing mendasarkan kesejatian itu atas sifat pahamnya yang dihiasi dengan tambahan keterangan misalnya kerakyatan atau demokrat, atau progresip. Dan tiap-tiap aliran menuduh mendakwa aliran yang lain-lain dengan khianat kepada asas Pancasila dan memutar balikkan kenyataan.
Adapun hal yang berbahaya itu disebabkan oleh karena keadaan aliran-aliran yang masing-masing mewujudkan bentuk kepartaian dan sebagainya itu dengan cara dan aturan yang mencontoh dari dunia Barat itu, pada hakikatnya sudah menyalahi Pancasila kita. Pancasila kita sekali-kali tidak menegaskan adanya aliran-aliran faham yang berlain-lain itu. Aliran berlain-lain itu mesti ada, oleh karena hidup manusia di tengah alam yang makhluk di muka bumi kita ini amat banyak macam ragam dan coraknya; berbagai-bagai hajat keper-luannya, berlapis-lapis, bertingkat-tingkat. Keka-yaan kehidupan dengan corak dan ragam yang bermacam-macam itu dengan sendirinya mewajib-kan adanya tujuan bermacam-macam, yang perlu semuanya, tapi tak mungkin dapat sesuatu pihak melayani semua-semuanya itu dengan berbagai tugas yang akan sengaja dipentingkan lebih dari pada yang lain-lain. Maka tumbuhlah berbagai-bagai aliran itu, tiap-tiapnya mementingkan satu bagian dengan memakai satu haluan yang tententu. Hajat keperluan itu memang diadakan dan diberi keterangannya di dalam Qur’an (Al-baqarah 148):
Maka bagi sekalian, masing-masingnya adalah tujuan dan cara yang diutamakannya; maka berlombalah berbuat kebajikan. Biar dimanapun kamu ada, niscaya Allah menghimpunkan kamu. Bahwa sesungguhnya Allah kuasa atas segala sesuatu apa.
Tapi maksud kita bersama-sama mengakui Pancasila itu, ialah supaya pokok-pokok Pancasila itu, menjadi tempat pertemuan kita di mana kita harus berhimpun. Maka biar betapa pun dan bagaimanapun kita pisah-pisah oleh karena tugas kita berlain-lain, tapi tiap-tiap tugas itu dan cara bagaimana kita mengusahakannya, harus ter-maktub di dalam salah satu pokok Pancasila itu, menurut paham yang lebih dulu sudah kita sesuaikan atau sudah kita mufakati antara kita dengan tidak ada syak dan tidak ragu-ragu. Tapi juga dengan tidak memaksa keyakinan sesuatu pihak.
Syarat-syarat ini dengan sendirinya menyebab-kan: pertama bahwa persatuan yang berharga itu tak mungkin dapat menghimpunkan segala aliran, semua-semuanya dengan tak ada kecuali dan tak ada sisa, setiap waktu dan dalam segala urusan. Dan kedua, bahwa untuk mendapat kepastian tentang aliran-aliran manakah yang dapat kita bersatu dengan dia dalam suatu urusan, haruslah kita senantiasa memeliharakan perhubungan aliran lain-lain itu dan dapat merundingkan dengan orang-orangnya tentang apakah dan cara bagai-manakah kita dapat kerja sama menurut pokok-pokok pancasila.
Dengan cara yang demikian itu dapatlah kita harapkan demokrasi berlaku dengan ikhlas antara berbagai aliran kepartaian dan sebagainya yang ada dalam bangsa kita. Artinya kerjasama antara yang terbanyak dalam segala urusan kebajikan dengan ikhlasnya; dan bukan hanya suara bersama yang terbanyak senantiasa menghalangi berlakunya dan menantang berlangsungnya tiap-tiap usaha untuk melancarkan pemerintahan, untuk memajukan pekerjaan dan penghasilan ekonomi, untuk memu-lihkan dan memeliharakan tertib dan keamanan umum dalam masyarakat kita.
Padahal bencana kenistaan yang tersebut kemudian itulah, yang terlebih banyak kita alami dalam masa kita sekarang ini.
Sebagaimana sudah tersebut lebih dahulu tadi, akibat yang buruk itu disebabkan oleh karena dalam bentuk susunan dan cara bekerja aliran-aliran dalam kepartaian dan sebagainya itu sudah memang menyalahi pokok-pokok Pancasila kita.
Jika akan sesuai dengan dasar Pancasila kita itu, maka bagaimanapun perbedaan haluan yang dipentingkan oleh berbagai-bagai aliran itu, dan bagaimanapun cara mengusahakan atau memper-juangkan tujuan-tujuannya masing-masing per-tama-tama sekali dan terutama tidaklah boleh menyalahi pokok dasar yang pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya tidak akan boleh menyimpang daripada hukum agama yang berdasar kepada wahyu daripada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan firman Allah di dalam Qur’an tiga kali berturut-turut yaitu: QS. Al-Maidah yang menyatakan :
Maka barangsiapa tidak membuat hukum menurut apa yang diturunkan oleh Allah dalam kitabNya dan agamaNya yang berturut-turut (yaitu Taurat, Injil dan Qur’an), maka mereka itu kafir adanya (tegasnya meniadakan Tuhan dan agama) (43) mereka itu zhalim adanya (tegasnya aniaya menyalahi keadilan; (50) mereka itu fasik adanya (tegasnya melanggar tertib sopan santun dengan sengaja menyalahi perintah dan petunjuk Allah)
Tentang pokok dasar yang pertama ini, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memang menjadi pokok yang istimewa dalam karangan ini, masih akan berikut keterangan yang lebih luas, Insya Allah pada hakekatnya memanglah pokok yang pertama ini bersifat meliputi, dan telah terkandung di dalamnya empat pokok dasar yang berikut di dalam Pancasila kita. Bahkan banyak lagi pokok dasar lain daripada yang empat itu. Dan memang pula masih banyak perkara dalam urusan negara, tanah air dan masyarakat dan yang boleh meru-pakan pokok dasar pula.
Sungguhpun begitu baik juga disini diterang-kan sedikit tentang satu dua pokok dasar yang lain-lain.
Berkenaan dengan Kebangsaan, pokok ini adalah pusaka dari masa penjajahan yang lalu, yang hukumnya melebihi mengurangkan (discriminatie), atas dasar kebangsaan, antara bangsa Eropa (Belanda). Bumiputera (Indonesia) dan peranakan bangsa Timur atau Asia (turunan Asing) dan orang-orang yang disamakan dengan bangsa Eropa atau dengan bangsa Bumiputera Pada hakikatnya dalam negara kita, yang kita tentukan menjadi negara hukum yang adil tak mungkin kita meng-adakan perbedaan melebih-mengurangkan di dalam hukum dengan alasan kebangsaan, melain-kan rakyat dan penduduk sekalian disamakan terhadap kepada hukum. Hanya dalam beberapa hal yang tertentu perlu diadakan perbedaan antara penduduk warganegara, yang mengakui kewajiban setia-bakti (loyality atau loyaliteit) kepada negeri kita yang diakuinya sebagai tanah airnya (wathan) dan orang bangsa asing, yang wajib setia bakti kepada tanah airnya masing-masing diluar negeri kita ini.
Dalam hal ini perlu sekali ditegaskan, bahwa asal usul turunan kebangsaan berkenan dengan peranakan tidak boleh menjadi dasar untuk membeda-bedakan di dalam hukum. Oleh karena itu perlu sekali rasanya, kita tegaskan, bahwa, pokok dasar kebangsaan itu harus dimaknakan dengan kenegaraan (Statsangchorigkeit). Dengan makna ini nyatalah bangsa (nationality) se-seorang ditentukan oleh negara yang ia mengakui wajib setia bakti (loyality) kepadanya. Semangat sikap yang dikehendaki disini ialah cinta tanah air (hub-al-wathan; patriotisme); berbeda dengan cinta kebangsaan (nationalisme) yang mungkin tetap terikat kepada tanah air asal atau tanah leluhur di luar negara kita ini.
Berkenaan dengan kerakyatan yang dimaknakan dengan demokrasi, baik kita tegaskan bahwa yang menjadi pokok yang menentukan dalam hal ini ialah rakyat sekalian dalam seluruh negara. Menurut pokok dasar ini kita sekalian mengakui kewajiban kita sekalian tunduk kepada keputusan yang diterima oleh jumlah yang terlebih banyak daripada rakyat itu, sebagaimana ditetapkan dengan suara yang terbanyak oleh badan per-wakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat menurut aturan yang tertentu dengan suara yang terbanyak pula.
Berhubung dengan pokok dasar ini tidaklah dibenarkan sesuatu golongan daripada rakyat memisah menyendiri atas dasar lapisannya dalam masyarakat (buruh, tani, pedagang, tentara, kaum agama, suku bangsa dan sebagainya), menentang, melawan atau melanggar sesuatu hukum atau aturan yang ditetapkan dengan sah oleh suara terbanyak daripada rakyat itu (ijma al-ummah) dengan menggunakan kekuatan perkosaan memak-sa yang mengancam tertib negeri dan keamanan umum dengan bencana dan kerusakan.
Tiap-tiap perbuatan yang demikian itu yang menggunakan intimidasi (menakut-nakuti), terror (aniaya kezaliman yang mendahsyatkan, sabot (merusak) abstruksi (menghalang-halangi) nyatalah termasuk kepada fitnah (khianat) mungkar (keja-hatan, kelicikan) dan bagha (durhaka). Maka haruslah ditentang dengan segenap tenaga masya-rakat sepenuh-penuhnya, biar dari pihak manapun terbitnya; oleh karena itu jika dibiarkan saja, tak dapat tidak kenistaan semacam itu membencanai, bahkan membinasakan masyarakat. Berkenaan dengan hal yang semacam ini baiklah kita peringati firman Allah di dalam Qur’an. (QS. Anfal 25):
Jagalah dirimu baik-baik supaya terpelihara daripada perdayaan, kekacauan dan huru-hara yang pasti menimpa bukanlah hanya mereka yang berbuat aniaya saja diantara kamu dan ketahuilah, ingatlah, sadarlah bahwa sesung-guhnya Allah teramat sangat hukumanNya yang menjadi akibat daripada bencana semacam itu.
Dalam ayat-ayat yang dahulu daripada yang tersebut itu tadi telah terkandung keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa bencana yang semacam itu terbitnya daripada pihak yang membuta-tuli, tak mau mendengarkan petunjuk-petunjuk daripada Allah, sehingga jika pun mereka diberi mendengar, mereka akan tetap menentang dan berbalik membelakang.
Baiklah kita cukupkan dulu keterangan tentang dua pokok dasar dalam Pancasila kita ini yang sudah terdahulu itu dan menegaskan bahwa dengan dua lagi yang berikut, segala pokok-pokok itu men-camkan kesatuan kita sekalian yang bersama-sama mengakui Pancasila kita itu; kesatuan ibarat suatu tembok batu, yang segala bagiannya sendi-menyendi, sokong-menyokong antara satu sama lain.
Dengan mengingat sifat-sifat ini dapatlah kita mengenal tiap-tiap golongan, rombongan atau gerombolan dengan bentuk kepartaian atau badan atau lembaga apapun juga, yang dengan sikapnya dan tingkah lakunya terbukti mengasingkan diri daripada ummat se bangsa, se tanah air kita, sekalipun mulutnya mengakui ikut. Mereka itu dengan berbagai corak dan ragamnya yang agak berlain-lain, tak orang semuanya dapat dikenali dengan tanda-tanda seperti di dalam ayat Qur’an (S. Al Anfal 2123):
Janganlah kami menjadi sebagai mereka yang (dengan mulutnya) berkata: Kami mendengar padahal mereka tidak mendengar. Bahwa sejahat-jahat binatang yang melata di muka bumi dalam pandangan Allah ialah yang ibarat tuli dan bisu tak ada ia mengerti. Jika mereka ada baiknya pada pengetahuan Allah, niscaya diberi oleh Tuhan mendengar, tapi sekalipun diberi mendengar,mereka hanya akan berbalik belakang juga sedang mereka membantah dan menentang.
Sampai disini baiklah kita kembali kepada pokok dasar yang pertama daripada Pancasila kita, yaitu yang menyatakan bahwa negara kita didasar-kan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai salah seorang yang turut serta membuat rencana pernyataan Kemerdekaan sebagai pen-dahuluan (preambule) rencana Undang-undang Dasar kita yang pertama di dalam Majlis Penye-lidikan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) di masa akhir-akhir kekuasaan Jepang, saya ingat betul-betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan aqidah, kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air itu suatu hak yang diperoleh daripada rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuanNya yang dilaksanakanNya dengan semata-mata kekuasaanNya pada ketika masanya menurut kehendakNya.
Dan kemudian, setelah tercapai Kemerdekaan yang menjadi idam-idaman dan cita-cita, yang tak pernah padam dalam bangsa kita, istimewa ummat Islam, dalam selama masa kita di takluk tundukkan oleh kekuasaan asing, yakin pula kita, bahwa segenap bangsa kita yang beragama menyambut nikmat karunia itu dengan bersyukur kepada Allah. Tuhan Yang Maha Esa. Maka pastilah bahwa pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjadi pokok yang terutama mengepalai Pancasila kita sebagai pernyataan aqidah tersebut diatas tadi. Maka dapatlah berhimpun dibawah pokok dasar itu segala umat, yang menjadi pengikut sesuatu agama, yang didasarkan atas kitab, diturunkan pada mulanya kepada Nabi-nabi yang menjadi pesuruhNya, di masa berlain-lain dalam negeri di muka bumi.
Dalam masa berlama-lama kitab-kitab itu yang dahulu daripada Qur’an, di masa yang kepandaian baca tulis terbatas di dalam kalangan satu-satu golongan (padri-pendeta) yang sedikit sekali bilangannya, telah banyak yang bertukar-tukar di dalam kitab-kitab itu. Ada tambahan yang termasuk atau diselakan (Addities dan inter-pelaties), ada yang diobah, di pindah-pindahkan maknanya (alteraties), ada yang nyata-nyata dipalsukan (falaificates). Maka dalam sebagian agama, istime-wa yang terlebih tua itu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi terdesak dari tempatnya di dalam ajaran-ajaran agama, oleh ramainya hikayat-hikayat Dewata dan manusia-manusia pilihan, Nabi-nabi dan Wali-wali yang beroleh Keramat kesaktian, yang menjadi ajaran dan agama.
Segala itu pada mulanya bermaksud hendak mendekatkan Ketuhanan Yang Maha Esa kepada pengertian manusia umumnya. Memang di masa purba itu, masa muda ummat manusia, amatlah cepatnya pengertian mereka tentang alam tempat mereka hidup, dan tentang pelik dan ajaib hikmah bentuk buatan diri mereka sendiri yang dijadikan Allah dengan kesempurnaan bentuk bangunnya dan dikaruniaNya dengan Roh dari padaNya, mengataskan dia manusia itu, daripada segala makhluk yang lain-lain. Sehingga amat jauhlah pengertian tentang Allah Yang Maha Luhur. Maha Meninggi itu, daripada capaian akal manusia itu, yang belum dapat mengenal hikmah yang terkan-dung di dalam dirinya sendiri pun juga.
Tapi usaha manusia itu, yang hendak pandai-pandai menyimpang daripada ajaran dan petunjuk Tuhan Yang Maha Esa itu, bukanlah tercapai maksud yang bermula, melainkan sebaliknya menyebabkan dalam sebagian agama itu, Tuhan Yang Maha Esa semata-mata bertukar dengan manusia, yang mula-mula membawa berita dari-pada Tuhan itu. Dan ada pula daripada agama-agama itu yang hendak memanjatkan pengertian manusia sampai kepada mengenal akan Tuhan Yang Maha Esa itu dengan berjenjang naik, dari paderi-pendeta kepada Nabi dan segala Malaikat, yang akhirnya menyelubungi Tuhan Yang Maha Esa itu dengan jumlah yang tak terbilang daripada manusia-manusia yang sakti dan keramat dan dari pada Malaikat-malaikat hamba Tuhan Yang Maha Esa itu, sehingga hilang lenyap semat-mata Tuhan itu di balik selubung Dewata Mulya Raya yang tidak terbilang banyaknya itu.
Demikianlah keadaan sampai kedatangan agama Islam sebagai yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi penutup – pengunci pengiriman Nabi-nabi dan Rasul pesuruh Allah yang pengha-bisan dengan kitab Qur’an.
Dengan kitab wasiat Allah SWT yang peng-habisan itu diwajibkan membaca kepada segala manusia dan diperintahkan menambatkan ilmu pengetahuan dengan tulisan, sebagaimana di-sampaikan perintah itu oleh Nabi Muhammad Rasulullah saw Maka dengan karena itu tiap-tiap ayat Qur’an yang diturunkan oleh Allah Ta’ala dengan wahyu kepada Nabi saw itu dituliskan dengan segera dari bermula dan disaksikan, dipelajari bacaannya atau dihafalkan lafaznya oleh sebanyak-banyaknya orang yang masuk ke dalam lingkungan pengikut Rasulullah saw itu.
Penyiaran baca tulis yang dengan demikian tersiar bersama dengan berkembangnya agama Islam daripada Qur’an itu, membukakan pula pintu masa kemajuan ilmu pengetahuan yang pertama kali, membukakan perbendaharaan ilmu pengeta-huan yang menjadi peninggalan masa lalu di Timur dan Barat dan mengerahkan usaha menyambung perkembangan itu dan menyalakan cahaya pene-rangan pada akal dan budi pikiran manusia.
Semenjak itu mulailah Qur’an menyerukan firman Allah ke Timur dan Barat untuk melak-sanakan tugasnya yang tersebut di dalam Quran S. Al-Maidah 49:
. Membenarkan apa-apa yang telah ada didapatinya daripada kitab (yang telah diturunkan terlebih dahulu), dan mejadi ujian (tentang) bagian-bagian yang benar dan yang salah (atasnya).
Dan dari sedikit ke sedikit, bertambah-tambah tersiar seruan Qur’an mengajak kepada aqidah Ketuhanan Yang Maha Esa yang setegas-tegasnya. Dengan jelas dan tegas, dengan tak boleh tawar ajaran Qur’an membantah dan menampik paham Amphitheismus yang mengadakan tanding kepada Tuhan dalam pertentangan berebut kekua-saan atas ummat manusia. Ajaran Qur’an mem-bantah dan menampik ajaran Triplotheismus yang mengadakan banding atau tara dari Tuhan Yang Maha Esa yang menyekutuiNya dan berbagai kekuasaan dengan Dia, Subhanahu wa Taala; ataupun banding atau tara yang berbagai tugas dengan Dia. Ajaran Qur’an membantah dan me-nampik ajaran Polytheismus yang membanyak-kan Tuhan atau dewata seperti yang sudah tersebut tadi itu.
Seruan Qur’an dengan tolongan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan lama-kelamaan telah bertambah-tambah berhasil. Dan pada masa kita sekarang ini bolehlah kita katakan, bahwa ahli-ahli ilmu pengetahuan dan ahli akal dan pikiran dalam segala agama dunia yang mendasarkan ajaran-ajarannya atau kitab-kitab asli daripada pesuruh-pesuruh Allah, rata-rata telah mengakui Mono-theismus Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tiap-tiap agama dunia itu mencarikan tafsir sedapat-dapatnya untuk menyesuaikan pengakuan itu dengan ajaran agamanya yang seolah-olah ber-lawanan dengan pengetahuan itu.
Syahdan atas Umat Islam yang menurut agama Allah di dalam Qur’an sebagai yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad saw tergantung kewajiban akan tetap meneruskan seruan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dengan kebijaksanaan dengan peringatan yang lemah lembut tapi tegas; supaya mudah-mudahan dapatlah disusun dan diatur kerja ummat agama untuk mencapai keselamatan ummat manusia. Selamat daripada fitnah, kekacauan, huru-hara, mungkar, Bagha pendurhakaan. Segala-gala itu membawa kerusakan, yang tidak hanya akan orang-orang yang jahat saja melainkan meratai masyarakat kita segenapnya.
Berhadapan dengan mereka, yang sekalipun dengan mulutnya mengakui pokok Ketuhanan Yang Maha Esa itu, tapi terang dengan fi’il-tingkah laku dan perbuatannya mengajak dan menghasut hasut kita untuk membesar-besarkan hawa nafsu keduniaan dan loba-temaah kepada kebendaan, biar dengan apapun semboyannya hendaklah kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa hidayat petunjuk dan bimbingan taufikNya, menyesuaikan hati kita supaya dapat kita berlaku menurut firmanNya. (S. Al-Syura 15):
Maka oleh karena itu meminta do’alah engkau dan luruskanlah pendirianmu sebagaimana engkau telah diperintah; dan janganlah engkau peturutkan hawa mereka, melainkan katakanlah aku percaya akan apa yang diturunkan Allah di dalam kitab dan aku telah di-perintahkan aku mengadili antara kamu, Allah itu Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi tanggungan kami amal perbuatan kami dan amal perbuatanmu bagi tang-gunganmu; tak ada janji bagi tuduh menuduh antara kami dengan kamu dan menjatuhkan hukumannya dan kepadaNyalah kesudahan sampainya kita. ?