Aku Bukan Santri, Tapi Aku Muslim Sejati 2
Aku Bukan Santri, Tapi Aku Muslim Sejati
Bagian: 2
Dalam mempelajari Islam, Bung Karno meminta bahan-bahan dari Persatuan Islam Bandung, ia ingin mencocokkan dengan pandangannya sendiri. Ia ingin membaca buku The Spirit of Islam yang terkenal karya Syed Ameer Ali umpamanya, untuk dibandingkan dengan pandangannya sendiri. Karena ia telah memiliki persepsi dan asumsi mengenai ajaran Islam, maka ia ingin menampilkan pandangannya sendiri tentang Islam. Ia berfikir, hendaknya dilakukan kritik terhadap paham-paham Islam yang tradisional, untuk kemudian dikembalikan kepada sumber ajaran Islam yang paling autentik, yaitu al Qur’an. Anehnya, Soekarno yang bersemangat itu, menganjurkan dipakainya ilmu pengetahuan modern (modern science), seperti ilmu-ilmu sosial, biologi, astronomi atau elek-tronika untuk memahami al Qur’an.
Dalam perkataannya sendiri:
Bukan sahaja kembali kepada al Qur’an dan Hadist, tetapi kembali kepada al Qur’an dan Hadist dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum. Ia bersikap kritis terhadap kitab-kitab tafsir, seperti ka-rangan Al-Baghawi, Al-Baidhawi dan Al Mazhari, karena tafsir-tafsir itu belum memakai ilmu pengatahuan modern.
Pandangan jauhnya terlihat dalam ucapannya sebagai berikut:
Bagaimana orang bisa betul-betul mengerti firman Tuhan bahwa segala sesuatu itu dibikin oleh Nya ‘berjodoh-jodohan’, kalau tak mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif dan negatif,tak me-ngetahui aksi dan reaksi?. Bagaimana orang bisa mengatahui firmanNya, bahwa kamu melihat dan menyangka gu-nung-gunung itu barang keras, padahal semuanya itu berjalan selaku awan, dan sesungguhnya langit-langit itu asal-muasalnya serupa zat yang berlaku, lalu kami pecah-pecah dan dan kami jadikan segala barang yang hidup daripada air, kalau tidak mengerti sedikit astronomy? Dan bagaimanakah mengerti ayat-ayat yang meriwayat kan Iskandar Zulkarnain, kalau tidak mengerti sedikit history dan archeology?
Pendekatan inilah yang kelak diikuti oleh scientist Muslim seperti Sahirul Alim, Ahmad Baiquni atau M. Immaduddin Abdurrahim.
Ia menganjurkan agar umat Islam itu tidak menengok ke belakang, termasuk hanya mengagumi dan mengaung-agung kan zaman kejayaan Islam (Islamic Glory), melainkan melihat jauh kemuka. Kuncinya adalah membuang jauh sikap anti-Barat secara priori. Ia juga mengecam sikap tradisional yang disebutnya sebagai semangat kurma dan semangat sorban. Saran lain yang dikemukakannya adalah tidak terpaku pada yang halal dan haram saja, tetapi juga kepada hal-hal yang mubah dan jaiz, dimana umat Islam mempunyai kemerdekaan berfikir, sesuai dengan hadist nabi “Engkau lebih tahu mengenai masalah duniamu (antum a’lamu bi umuri duniakum).”
Tidak saja di lapangan pemikiran, Soekarno banyak menganjurkan perhatian, tetapi juga di bidang da’wah. Ia mengagumi kegiatan misi Katholik di Flores dan menganjurkan agar hal yang sama bisa dilakukan oleh da’wah Islam.
Kritik Soekarno muda memang blak-blakan dan keras, sehingga ia sendiri merasa bisa disalah-pahami sebagai anti-Islam. Walaupun menyadari risiko itu, ia tidak berhenti mengkritik paham-paham Islam yang kolot. Tapi lebih tepatnya, di bidang da’wah ia lebih bersimpati kepada muballig-muballig yang modern-scientific dan mengecam muballig-mubalig ala kyai bersorban dan ala hadramaut. Ia sangat menghargai umpamanya, muballig seperti Mohammat Natsir yang menulis Islam dalam bahasa Belanda untuk kaum terpelajar.
Ia agaknya menginginkan, agar umat Islam mengembangkan segi keduniaanya yang nabi Muhammad saw telah me-mberikan kebebasan berfikir. Dalam rumusannya sendiri ia berkata:
Kita tidak ingat bahwa Nabi saw sendiri telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak haram atau tidak makruh. Kita royal sekali dengan perkataan kafir , kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap kafir. Pengetahuan Barat-kafir, radio dan kedokteran – kafir pantalon dan dasi dan topi-kafir, sendok dan garpu dan kursi-kafir, tulisan Latin – kafir, ya pergaulan dengan bangsa yang bukan Islampun – kafir ! Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan Roch Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi …. dupa dan korma dan jubah dan celak mata !
Kritik-kritik terhadap Islam tradisional yang kolot, memang terasa tajam. Tetepi espresi itu sebanarnya jus tru menunjukkan sikap jujurnya. Ia tidak takut dicap anti-Islam. Namun sikap yang sangat menghendaki kemaju an itu agaknya pernah menimbulkan kejengkelan A. Hassan, sehingga Soekarno mudah dituduhnya telah kebablasan , sehingga cenderung menghalalkan apa yang dalam fiqih disebut haram. Soekarno memang banyak mengkritik pemikiran dan cara berfikir fiqih dan cara berfikir taqlid terhadap ulama terdahulu. Ia menginginkan ber-fikir dan melakukan reinterpretasi langsung kepada al Qur’an dan Hadist yang sahih, sebab ia percaya bahwa Hadist yang sahih tidak bertentangan dengan rasionalisme dan kemoderanan.
Memang kritik-kritik Haji Agus Salim, A. Hassan dan Mohammad Natsir, ada kalanya cukup telak, misalnya dalam mengoreksi paham cinta tanah air yang bisa menjerumuskan kita ke dalam memberhalakan tanah air, bangsa dan ras.
Soekarno juga tidak merasa dendam terhadap para pengeritiknya, bahkan ia sangat menghargai pemikiran semacam dari Haji Agus Salim dan Natsir. Ketika Bung Karno telah menjadi Presiden RI, ia bahkan mengangkat Natsir sebagai sekretarisnya yang sangat ia percaya. Banyak yang menyayangkan bahwa hubungan Natsir-Soekarno itu retak. Kalangan Islam sendiri banyak menyayangkan sikap Natsir umpamanya, mengapa ia tidak memelihara hubungan dengan Soekarno, malahan lebih dekat dan dalam politik bahkan mengikut kepada Syahrir
Kritik-kritiknya terhadap paham Islam tradisional, betapapun tajam dan kerasnya. Kritiknya yang jelas terpampang dalam tulisannya yang berjudul: Tabir adalah lambang Perbudakan, Tabir tidak diperintahkan oleh Islam.
Tapi di sini, nampak prasangka baik Bung Karno terhadap Islam. Ia tidak menantang ajaran Islam itu sendiri, melainkan mengatakan bahwa tabir itu tidak diperintahkan Islam. Ia tidak percaya bahwa mensekat kelompok laki-laki dan perempuan itu adalah perintah Islam. Pandangan Bung Karno itu ternyata dibenarkan oleh Haji Agus Salim. Tapi sikap Bung Karno sendiri tegas dan uncompromising. Ia bahkan pernah protes dengan meninggalkan suatu pertemuan Muhammadiyah, karena pertemuan itu membuat tabir, padahal ia melihat tabir adalah lambang perbudakan perempuan.
Soekarno muda sendiri tertarik kepada Islam karena wacana Sheikh Mohammad Abduh dan syed Jamaluddin Al afghani yang dikenal sebagai pelopor faham Islam modernis yang dikiuti oleh Masyumi dan Muhammadiyah.
Soekarno muda mengakui adanya apa yang disebut Islamisme yang merupakan sebuah ideologi, seperti Marxisme dan Nasionalisme.
Tapi konsep Islamisme itu sendiri tidak lagi berkembang, selain beberapa tulisan Mohammad natsir tentang konsep negara dalam Islam atau islam sebagai dasar negara yang masih bersifat sangat umum. Hal ini menunjukkan betapa telah majunya pemikiran Bung Karno mengenai kemungkinan dikembangkannya sebuah ideologi Islamisme. Disini kita tidak melihat bahwa Bung Karno itu anti Islam-politik.
Masih tentang Islam Bung Karno pernah menjelaskan:
Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meer warde sepanjang Marxisme, dalamn hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam. Meer warde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberi bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang bekarja mengeluarkan untung itu, –teori meerwarde itu disusun oleh Karl Marx dan Frederich Engels yang menarangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwarde inilah kaum Marxisme meme-rangi kapitalisme sampai pada aker-akarnya !
Pandangannya yang menyeluruh dan terbuka menganai islam digambarkan dalam karangannya dalam Panji Islam (1940) tentang Me `muda’ kan Pengertian Islam. Dalam karangannya itu ia antara lain mengemukakan preporisi tentang flkesibilitas hukum Islam. Ternyata pandangannya ini dikecam secara tajam dan sinis oleh A. Hassan. Padahal, Soekarno hanyalah mengutip pandangan Sayid Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam. Cuma Soekarno mempergunakan istilah yang kurang tepat, yaitu mengumpamakan fleksibilitas itu dengan karet, sehingga ditangkap oleh A. Hassan, bahwa Soekarno menganggap hukum Islam itu seperti hukum karet:
hukum yang jempol haruslah seperti karet, katanya,
dan kekaretan ini adalah teristimewa sekali pada hukum-hukum Islam.
Padahal menurut citranya, hukum itu haruslah tegas untuk men jamin apa yang disebut kepastian hukum.
Dalam tulisannya mengenai memudakan pengertian Islam itu Bung Karno sebenarnya ingin memajukan Islam dan masyarakat Islam. Ia ingin agar Islam yang telah dimudakan itu mampu membawa dan menjadi motor per-ubahan kemasyarakatan. Hanya saja di dalam kehidupan politik, Bung Karno tidak menyetujui penggunaan simbol Islam. Ia ingin Islam masuk ke dalam paham kebangsaan. Ia juga mengecap sistem ketata-negaraan Islam menyetujui sistem demokrasi parlementer yang dianggapnya sebagai demokrasi borjuis itu. Agaknya ia berharap Islam mempunyai konsep sendiri mengenai demokrasi yang mengarah kepada gagasan demokrasi terpimpin , yang kira-kira demokrasi yang berdasarkan permusyawaratan daripada berdasarkan kebebasan yang memberi peluang bagi tumbuhnya kapitalisme itu.
Di dalam spektrum kepemimpinan Islam di Indonesia, Bung Karno menduduki posisi yang unik. Ia menyumbang kan pemikiran-pemikiran Islam dengan analisis ilmu-ilmu sosial modern yang tidak dilakukan oleh pemimpin Islam manapun. Jika seandainya tidak ada orang seperti Bung Karno di kalangan umat Islam, seorang Bung Karno perlu ditemukan, separti kata-kata Paul Samualton terhadap Milton Friedman, bahwa seorang seperti dia should be invented. Karena itu diskusi ini sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan rediscovery mengenai Bung Karno sebagai pemikir Islam yang orisinal. Dan bukannya kontroversial. Upaya ini merupakan argumen bahwa Bung Karno bukanlah seorang sikretis, melainkan seorang penganut agama tauhid yang murni, sebagai-mana ia mengidentifikasikan dirinya sebagai Muhammadiyah.