Aku dan Onassis
Neoliberal, kata-kata ini banyak kita dengar saat berlangsung masa kampanye Pilpres 2009. Kata-kata ini sekan tercipta untuk menghancur leburkan Pasangan Capres dan Cawapres SBY-Budiono.
Yang menjadi pertanyan adalah, sejak kapan bangsa yang baru berumur 64 tahun mengenal apa yang disebut Neoliberal.
Menjawab pertanyaan ini tiada salah kiranya kalau kita mundur sejenak menuju Indonesia tahun 1964, bulan Oktober. Dalam kunjungan kerja ke Roma, Bung Karno tiba-tiba saja diundang oleh miliarder kapitalis Aristoteles Onasis ke kapalnya yang mewah, “Christina”. Hingga hari ini tak pernah terungkap, siapa pemrakarsa pertemuan Presiden Republik Indonesia itu dengan Onasis, mengingat keduanya tidak pernah menjalin persahabatan sebelumnya.
Hanya sebuah epekulasi yang mengatakan, besar kemungkinan, kalangan seniman (pelukis, bintang film) yang menjembatani pertemuan itu. Mengingat dalam hampir setiap kunjungannya ke Roma, Bung Karno selalu meluangkan waktu bertemu para seniman setempat.
Singkatnya, kapal mewah “Christina” berlajar menuju Laut Tengah. Onasis didampingi Maria Callas, bintang opera bersuara emas yang cantik jelita. Sekilas, pertemuan itu berlangsung sangat akrab, laiknya perjumpaan dua karib lama. Di atas kapal itu pula terjadi serangkaian pertemuan yang sangat produktif, mulai dari jamuan makan sampai pertemuan empat mata Bung Karno – Onasis.
“Saya tidak mengira, mereka (Onasis dan Callas) mengetahui begitu banyak tentang Indonesia dan diri saya,” ujar Bung Karno tak lama setelah pertemuan usai.
Tentang materi pertemuan, Bung Karno menyinggung sekilas, bahwa intinya, Onasis menjajagi kemungkinan menanamkan modalnya di Indonesia dalam berbagai bidang, utamanya pertambangan. Onasis bahkan siap menanamkan uangnya bermiliar-miliar dolar AS di bumi Indonesia. Terlebih, dalam Undang Undang Penanaman Modal Asing tahun 1958, cukup banyak peluang asing berinvestasi di bumi Indonesia.
Dalam pertemuan itu, Onasis terang-terangan menghendaki adanya jaminan dari Presiden Sukarno bahwa perusahaan dan modalnya tidak akan dinasionalisasikan dalam jangka 35 tahun. Syarat itulah yang tidak serta merta diterima Bung Karno. Sebab, bunyi Undang Undang memang membatasi semua izin usaha sempai 10 – 15 tahun, dengan catatan dapat diperpanjang hanya jika perusahaan itu menguntungkan negara dan rakyat Indonesia. “Jangan sampai modal asing atau modal domestik swasta menduduki posisi yang dapat menentukan perekonomian kita,” tandas Bung Karno.
Sikap Bung Karno jelas, kemandirian ekonomi harus menjadi tiang utama bangsa ini. Tidak heran jika Bung Karno banyak menunda izin penanaman modal asing, sebelum jelas gambaran untung dan ruginya dalam kaitan kelestarian alam, perluasan daerah pertanian, transmigrasi, dan sebagainya.
Hingga titik paragraf di atas, tegas tersimpulkan, Bung Karno tidak anti modal asing, tetapi setiap investasi asing, harus menguntungkan negara dan rakyat Indonesia. Jika investasi asing justru mengakibatkan ketergantungan serta hanya memperkaya sekelompok kaum kapitalis, Bung Karno akan tegas menolak.