Soekarno dan Wanita
Sebagai seorang Presiden yang kharismatik dan penuh pesona maka tak berlebihan jika dalam perjalanan hidup Bung Karno banyak tersandung dengan masalah wanita. Tapi apakah semua itu mutlak kesalahan Bung Karno ? Tidak, sekali lagi tidak. Siapakah yang harus disalahkan bila Bung Karno terlahir dengan penuh pesona.
Daya tarik dan pesona Sukarno inilah yang juga sulit untuk ditolak oleh beberapa perempuan yang pernah hadir sebagai penghias hati bapak proklamator Indonesia ini.
Tercatat ada 9 orang wanita yang pernah dinikahinya. Sampai akhir hidupnya, beberapa telah berstatus sebagai mantan istri dan beberapa lagi masih menjadi istri yang sah.
Sukarno memang adalah seorang pecinta dan pemuja wanita. Ibarat kumbang di taman yang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain, demikianlah Sukarno.
Sukarno memang bukan sosok manusia hipokrit. Dalam wawancara yang dilakukan Cindy Adams, penulis biografinya, dengan terang-terangan Sukarno mengatakan, ” I’m a very physical man. I must have sex everyday. “
Reni Nurhayati, sang penulis buku, menilai bahwa memang tak ada satupun dari istri-istri Sukarno yang tidak cantik. Pada Bambang Widjanarko, orang yang pernah 8 tahun menjadi ajudannya, ia berujar, “Ya, aku senang melihat wanita cantik. Aku akan merasa lebih berdosa bila berpura-pura dengan mengatakan tidak atau bersikap seakan tidak senang. Berpura-pura seperti itu namanya munafik dan aku tidak mau munafik.”
Di saat yang berbeda, ia juga pernah mengatakan, “Aku menjunjung Nabi Besar. Aku mempelajari ucapan-ucapan beliau dengan teliti. Jadi, moralnya bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang mengagumi perempuan yang cantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu, karena melakukan itu pada hakekatnya aku memuji Tuhan dan memuji apa yang telah diciptakanNya.”
Siti Utari Tjokroaminoto, Inggit Ganarsih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manopo, Naoko Nemoto yang kemudian berganti nama menjadi Ratnasari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar, demikian nama kesembilan bunga hati Sukarno. Cinta memang buta, ia juga tak kenal usia, demikianlah faktanya yang terjadi dengan cinta Sukarno. Mulai dari yang lebih tua darinya 15 tahun (Inggit Ganarsih) hingga yang lebih muda 46 tahun (Heldy Djafar), semua telah jatuh dalam pesona Sukarno. Bagi Sukarno, kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si istri merupakan perpaduan daripada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Hal ini mungkin yang membuat Sukarno tetap bisa bersikap sama romantis terhadap istri tua maupun istri mudanya. Ia sanggup membuat istri-istrinya merasa bahwa merekalah satu-satunya wanita dalam hidup Sukarno.
Kepiawaian Sukarno mengambil hati wanita memang tidak diragukan lagi. Surat cinta, rayuan, dan sikap gentleman khas Sukarno menjadi hal yang masih dapat dikenang oleh istri dan mantan istrinya. Kendati beberapa diantaranya sudah bercerai dan menikah lagi dengan pria lain, mereka masih fasih membahasakan kembali sederetan kata indah yang pernah ditulis dan diucapkan oleh Sukarno.
Banyak gelar yang akhirnya orang sandangkan pada Sukarno menyangkut keahliannya yang satu ini, diantaranya Arjuna, Casanava Cinta, dan Don Juan, sedangkan dari pengagumnya di luar negeri ia dijuluki A Great Lover. Sepak terjangnya memang telah sampai menjadi sorotan dunia, pers barat bahkan dengan sinis menyebutnya ” Le Grand Seducteur – tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu”.
Bagaimanapun penilaian kita pada pribadi Sukarno mengenai kehidupan asmaranya bersama wanita-wanitanya, beliau tetaplah aktor yang sangat berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia. Dibalik perjuangannya bagi bangsa ini, tertoreh nama Inggit Garnarsih yang Sukarno sendiri sebut sebagai Srikandi Indonesia di depan khalayak ramai pada waktu Kongres Indonesia Raya di Surabaya tahun 1931, dan Fatmawati sang penjahit bendera pusaka Indonesia.
Tidak tahu seberapa besar cintanya pada istri yang satu maupun istri yang lainnya namun satu hal yang pasti cintanya pada Ibu Pertiwi sangatlah besar.
Ratna Sari Dewi dalam buku Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, menyatakan bahwa sesungguhnya Sukarno adalah seorang pahlawan sejati yang hanya mencintai negara dan bangsanya.
Biarlah semua menjadi catatan hitam dan putihnya seorang Tokoh Besar Indonesia. Setidaknya kita bisa berbangga hati pernah memiliki sosok Soekarno.