Catatan Hari-Hari Terakhir Presiden Pertama Indonesia
OPINI | 25 April 2011 | 12:24 Dibaca: 228 Komentar: 2 Nihil
Bung Karno, di akhir hayatnya sangat nista. Ia dinista oleh penguasa ketika itu. Ia sakit, dan tidak mendapat perawatan yang semestinya bagi seorang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus tokoh pemersatu bangsa. Bahkan untuk sekadar bisa menghirup udara Jakarta (dari pengasingannya di Bogor), ia harus menulis surat dengan sangat memelas kepada Soeharto.
Mengenang hari-hari terakhir Bung Karno, saya sengaja menukil kisah sedih yang dipaparkan Reni Nuryanti dalam bukunya Tragedi Sukarno, Dari Kudeta Sampai Kematiannya. Harapannya, kita semua bisa berkaca dari sejarah. Detail kisah mengharu biru, dari praktik-praktik biadab aparat militer ketika itu kepada Bung Karno selama hidup dalam “kerangkeng” Orde Baru di Wisma Yaso, cepat atau lambat akan terbabar.
Hari-hari terakhir Bung Karno ini, saya penggal mulai dari peristiwa tanggal 16 Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto). Ia dibawa pukul 20.15, harinya Selasa. Ada banyak versi mengenai peristiwa ini. Di antaranya ada yang menyebutkan, Sukarno dibawa paksa dengan tandu ke rumah sakit.
Hal itu ditegaskan oleh Dewi Sukarno yang mengkonfirmasi alasan militer, bahwa Bung Karno dibawa ke RS karena koma. Dewi mendapat keterangan yang bertolak belakang. Waktu itu, tentara datang membawa tandu dan memaksa Bung Karno masuk tandu. Tentara tidak menghiraukan penolakan Bung Karno, dan tetap memaksanya masuk tandu dengan sangat kasar. Sama kasarnya ketika tentara mendorong masuk tubuh Bung Karno yang sakit-sakitan ke dalam mobil berpengawal, usai menghadiri pernikahan Guntur. Bahkan ketika tangannya hendak melambai ke khalayak, tentara menariknya dengan kasar.
Adalah Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di saat-saat akhir. Demi mendengar bapaknya dibawa ke RSPAD, ia pun bergegas ke rumah sakit. Betapa murka hati Rachma melihat tentara berjaga-jaga sangat ketat. Hati Rachma mengumpat, dalam kondisi ayahandanya yang begitu parah, toh masih dijaga ketat seperti pelarian. “Apakah bapak begitu berbahaya, sehingga harus terus-menerus dijaga?” demikian hatinya berontak.
Dalam suasana tegang, tampak Bung Karno tergolek lemah di sebuah ruang ujung becat kelabu. Tak ada keterangan ruang ICU atau darurat sebagaimana mestinya perlakuan terhadap pasien yang koma. Tampak jarum infus menempel di tangannya, serta kedok asam untuk membantu pernapasannya.
Untuk menggambarkan kondisi Sukarno ketika itu, simak kutipan saksi mata Imam Brotoseno, “Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa –dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar kemana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas.
Hari kedua, 17 Juni 1970, Sukarno tampak lebih baik dari hari sebelumnya. Tapi, ia tidak mau makan. Bahkan, obat-obatan yang diberikan dokter pun enggan meminumnya. Setiap kali dokter hendak memberi suntikan pun, Bung Karno selalu menolak. Rachmawati menerka, Bung Karno mengetahui bahwa semua pengobatan selama ini hanya untuk memperlemah dirinya. Dalam kacamata politik, pengobatan dengan misi pembunuhan.
Karenanya, kondisi Sukarno makin lemah dari hari ke hari. Hingga saat itu Rachma berani bertanya kepada tim dokter yang merawat, dalam hal ini ia bertanya kepada Ketua Tim Dokter yang merawat Bung Karno, yakni Prof Mahar Mardjono, “Mengapa sakit komplikasi yang diderita bapak dibiarkan begitu saja. Mengapa tidak dilakukan cuci darah?” Mahar hanya menjawab sambil lalu, sehingga Rachma berkesimpulan, dokter-dokter itu tidak benar-benar merawat Sang Proklamator Bangsa. Bahkan, para dokter tampak tak punya rasa iba sedikit pun.
Lebih sakit hati Rachma ketika dr Mahar mengatakan, “Alat itu sedang dipesan dari Inggris, dan belum tentu ada. Kalaupun ada, kapan datangnya, tidak tahu.” Keterangan Mahar ini, di kemudian hari dibenarkan anggota dokter lain, “Sebenarnya sudah lama, tim dokter telah mengusulkan agar alat itu dibeli. Tapi alat itu tak kunjung datang meski pembeliannya kabarnya telah dijajaki di Singapura dan Inggris.” Dan akhirnya, anggota tim dokter itu menambahkan, “jangan-jangan memang sengaja tidak dibeli….”
Dalam keterangan lain, situasi saat itu memang membuat tim dokter yang dipimpin Mahar Mardjono tak berdaya. Ada kekuatan besar yang bisa mengancam nyawa mereka seandainya mereka bekerja di luar kendali penguasa. Karenanya dalam suatu kesaksian terungkap, saat kondisi Bung Karno kritis, Prof dr Mahar Mardjono sempat menuliskan resep khusus, namun obat yang diresepkannya itu disimpan saja di laci oleh dokter yang berpangkat tinggi. Mahar mengemukakan hal itu kepada rekannya, dr Kartono Mohammad.
Semua detik yang berdetak, semua menit yang lewat, semua jam yang bergulir, semua angin yang berembus… adalah duka sepanjang hari. Satu hari bernama tanggal 18, mungkin hanya bermakna 24 jam. Satu hari berikutnya yang bernama tanggal 19 Juni 1970, adalah bilangan 1440 menit, 86.400 detik. Tapi semua itu adalah tusukan duri bagi Sukarno yang tengah tergolek lemah.
Sedangkan tanggal 20 Juni, tercatat sebagai simbol dwitunggal yang terpatri abadi. Sejarahlah yang berkuasa pada hari itu. Bung Hatta, datang menjenguk sahabat seperjuangan. Sementara, Bung Karno, seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan Sang Hatta. Maka, terjadilah pertemuan yang mengharu-biru, seperti dikisahkan Meutia Hatta dalam bukunya: Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan.
Berkata lirih Sukarno kepada Hatta, “Hatta… kau di sini….?
Seperti diiris-iris hati Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya. Demi memompa semangat kepada sahabat, wajah teduh Bung Hatta menampakkan raut yang direkayasa, “Ya… bagaimana keadaanmu, No?” begitu Hatta membalas sapaan lemah Karno, dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal perjuangan. Hatta memegang lembut tangan Bung Karno. Bung Karno melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at het met jou…” (Bagaimana keadaanmu?)
Hatta benar-benar tak kuasa lagi merekayasa raut teduh. Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgi. Apalagi, usai berkata-kata lemah, Sukarno menangis terisak-isak. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya. Seketika, Hatta pun tak kuasa membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah takut terpisah. Keduanya bertangis-tangisan.
“No….”
Hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan, sebelum akhirnya meledak tangis yang sungguh memilukan. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena ledakan emosi yang menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata. Keduanya tetap berpegangan tangan. Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas.
Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Mata keduanya bertatapan… mereka berbicara melalui bahasa mata. Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah pada sore hari yang bersejarah itu. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu datangnya malaikat penjemput, guna mengantarnya ke swarga loka, terbang bersama cita-cita yang kandas di tangan bangsanya sendiri.
Siapa yang tak murka, demi mengetahui bahwa selama kurang lebih 1,5 tahun “dikerangkeng” di Wisma Yaso, Bung Karno, mantan Presiden Republik Indonesia, tokoh pemersatu dan proklamator bangsa, ternyata hanya diserahkan perawatannya secara penuh kepada dr Soeroyo. Siapakah dokter Soeroyo? Dia bukanlah dokter spesialis, melainkan dokter hewan!
Ia masuk-keluar Wisma Yaso dengan perawat-perawat yang tidak jelas didatangkan dari mana. Bahkan obat-obatan yang dicekokkan ke Bung Karno pun sama sekali tidak tepat. Ia hanya memberinya duvadilin (mencegah kontraksi ginjal), metadone (penghilang rasa sakit), royal jeli, suntikan vitamin B1 dan B12, serta testoteron. Selain itu, Sukarno tiap malam juga minum valium.
Tiap malam minum valium selama tahunan, tentu saja membuat tidurnya tak lagi terkontrol. Akibatnya Sukarno mulai sering merasakan pusing. Setiap itu pula, perawat memberinya obat pengurang rasa sakit, novalgin.
Perawatan yang sembrono juga sering terjadi, ketika Bung Karno terbangun tengah malam dan muntah darah, dokter Soeroyo hanya memberinya vitamin. Sementara, dokter Mahar Mardjono yang disebut-sebut sebagai ketua tim, sama sekali tidak pernah hadir ke Wisma Yaso. Itu semua terungkap dalam dokumen yang lebih 27 tahun tersimpan oleh Siti Khadijah, yang tak lain adalah istri dokter Soeroyo. Benar adanya, bahwa sejarah pada akhirnya akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri. Benar pula, bahwa ada kecenderungan yang seolah tersusun rapi, tentang “pembunuhan” terhadap Sukarno.
Tidak banyak cerita, tanggal 21 Juni 1970, pukul 07.00 WIB, Bung Karno menghembuskan nafas terakhirnya. Adalah dr Mahar Mardjono, satu-satunya orang yang menyaksikan “kepergian” Putra Sang Fajar. Keterangan yang ia kemukakan, “Pada hari Minggu, 21 Juni 1970, pukul 04.00 pagi, Bung Karno dalam keadaan koma. Saya dan dokter Sukaman terus berada di sampingnya. Menjelang pukul 07.00 pagi, dr Sukaman sebentar meninggalkan ruangan rawat. Saya sendiri berada di ruang rawat bersama Bung Karno. Bung Karno berbaring setengah duduk, tiba-tiba beliau membuka mata sedikit, memegang tangan saya, dan sesaat kemudian Bung Karno menghembuskan nafas yang terakhir.”
Tak lama berselang, keluarlah komunike medis:
1. Pada hari Sabtu tangal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Sukarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir Sukarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir Sukarno meninggal dunia.
3. Team dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir Sukarno hingga saat meninggalnya.
Komunike itu ditandatangai Ketua Prof Dr Mahar Mardjono, dan Wakil Ketua Meyjan Dr (TNI-AD) Rubiono Kertopati.
Sementara itu, Syamsu Hadi suami dari Ratna Juami, anak angkat Bung Karno dan Inggit Ganarsih yang melihat jenazah Bung Karno melukiskan dengan baik, “Wajah almarhum begitu tenang. Seperti orang tidur saja nampaknya. Mata tertutup baik. Alis tebal tidak berubah, sama seperti dulu.” (